BAB 3

218 92 56
                                    

Pic of 2012 Harry Styles as Drew Collins in mulmed.

Tak terasa pagi pun kembali menyapaku. Membangunkanku dari tidurku yang bisa dibilang belum bahkan tidak cukup nyenyak akibat kejadian semalam. Nyawaku memang belum sepenuhnya terkumpul. Gadis batinku mulai mengadu pada diriku jika lebih baik aku tidak bekerja lagi untuk hari ini saja. Namun, tetap saja hari ini aku bertekad untuk bekerja.

Bekas tamparan Dad kemarin malam masih terasa perih di pipi kananku.
“Ouch...”dan ternyata terbukti meninggalkan tanda memar kebiruan di sana.

Kulirik jam di atas nakasku yang menunjukkan pukul 6 pagi. Jangan salahkan aku jika memang aku bangun terlalu pagi. Karena memang bangun pagi merupakan salah satu rutinitasku setiap hari tentunya selain menjadi pramusaji di kafe tempatku bekerja.

Aku mulai merangkak meninggalkan ranjang dan mulai memasuki kamar mandi. Tetes-tetes air mulai muncul memberikan sensasi dingin sekaligus menyegarkan pada tubuhku. Setelah 30 menit berkutat di dalam kamar mandi akhirnya aku pun selesai.

Kulirik jam di dinding kamarku, masih kurang sejam lagi bagiku untuk berangkat bekerja. Tak butuh waktu lama, aku pun sudah siap dengan setelan seragam kafe dan rambut brunette ku sengaja kukuncir kuda seperti biasa. Dengan sapuan tipis dari bedak yang kupunya tentunya membuatku tampak terlihat segar dan tidak pucat dari sebelumnya.

Aku mendengar kegaduhan di bawah sana. Lantas, aku bergegas dan beranjak menuju ke sana. Dapat kutemukan Mom yang mulai mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam kulkas. Sambil bersenandung kecil, Mom pun mulai mencampur beberapa bahan makanan yang dapat kuasumsikan bahwa Mom akan membuat pancake untuk sarapan kali ini.

“Pancake, huh?”

Aku menghampirinya yang tengah sibuk mencampurkan beberapa bahan ke dalam mangkuk berukuran sedang yang biasa Mom gunakan.         
“Kau selalu tahu, Sayang.”jawabannya membuatku lega. Dari nadanya saja aku dapat mendengar bahwa kemungkinan besar Mom sudah tidak lagi memikirkan kejadian semalam.

Lagi-lagi senandung kecil mulai Mom keluarkan dari bibir pink-nya membuat senyumku tersungging lagi.
Aku mulai membantu Mom mulai dari mencampurkan adonan, memanaskan penggorengan, hingga pancake buatan kami selesai. Tak jarang, Mom pun menjahiliku dengan mengoleskan mentega, telur, bahkan selai coklat di pipiku. Hingga mengharuskan diriku untuk membersihkan diriku kembali.

Sarapan pagi ini kami lalui dengan penuh canda tawa. Tak ada dari kami yang menyinggung soal kejadian semalam. Semuanya terlihat baik-baik saja seolah tak terjadi apa-apa.

“Mom, aku harus berangkat bekerja.”kulirik sekali lagi jam hitam yang melingkar di tanganku. Membuatku harus menyudahi sarapan pagi penuh canda hari ini.

“Pergilah, Mom juga harus bekerja. Hari ini kantor Mom mengadakan rapat dan kemungkinan Mom akan pulang terlambat dari dirimu.”akhirnya sosok Mom yang penuh semangat dan pekerja keras pun kembali.

“Tak apa, Mom. Aku berangkat!”kukecup Mom ku.

Kulambaikan tanganku ketika aku mulai berjalan menjauhi pekarangan rumah menuju halte terdekat untuk mencari bus tujuanku. Kurang lebih 10 menit berjalan aku pun sampai. Memang dewi fortuna sedang berpihak padaku untuk hari ini. Tanpa menunggu, bus tujuanku sudah datang. Aku segera melesat dan mencari tempat duduk yang sekiranya cocok.

Selama kurang lebih 30 menit perjalanan akhirnya aku pun sampai. Dapat kulihat di samping halte pemberhentian ini kafe milik Mr.Philip dimana tempatku bekerja. Aku segera turun dari bus tak lupa mengucapkan terimakasih dan mulai berjalan menuju kafe.

Aku mulai membuka pintu kafe perlahan, menghasilkan bunyi nyaring dari bel yang memang sengaja dipasang sebagai penanda bahwa pelanggan ataupun karyawan mulai berdatangan.
Hanya Sarah dan aku rupanya yang baru sampai. James dan Demian pun belum memunculkan batang hidungnya. Sarah melihatku yang baru saja sampai. Memberikan pelukan hangatnya dan menuntunku menuju ruangan tempat para pekerja.

“Bagaimana harimu? Keadaan Mom mu? Baik-baik saja bukan?”sesungguhnya aku enggan menceritakannya kepada siapapun. Namun, mengingat Sarah sudah kuanggap sebagai saudaraku aku pun mulai angkat bicara mengenai Mom.

Reaksinya terlihat kaget ketika aku menceritakan tentang bagaimana Dad membuat Mom tersiksa seperti itu. Perlahan tatapannya mulai melembut. Memberikan tatapan simpati padaku.

“Sungguh aku tak butuh rasa kasihanmu, Sarah. Aku baik-baik saja.”tuturku padanya.

Merasa mengerti ia pun memelukku. Memberikanku kehangatan layaknya seorang kakak perempuan kepada adiknya. Inilah salah satu yang kusuka dari Sarah, cukup kuakui bahwa Sarah tidak sekanak-kanak yang kukira ketika kita baru pertama kali bertemu. Sikap dewasanya inilah yang membuatku menyukainya walaupun sebenarnya kami tidak memiliki ikatan darah satu sama lain.

Sesi saling curhat antara diriku dengan Sarah telah selesai. James dan Demian pun juga telah tiba beberapa menit lalu. Kami semua mulai melakukan rutinitas kami masing-masing seperti biasa. Sarah disibukkan dengan beberapa kue-kue panas yang harus segera disusun dalam etalase dan juga berbagai macam toples bubuk kopi siap saji di tangannya, Demian mulai mempersiapkan segala peralatan dapurnya, James yang mulai membersihkan dan menata kafe bagian depan, sementara aku mulai membersihkan dan menata meja serta kursi kafe.

Selama kurang lebih satu jam mempersiapkan segala hal, kafe pun siap dibuka. Hari ini masih sama seperti hari-hari biasa. Kafe pun ramai dan lancar. Kami juga melakukan tugas dengan cepat dan cekatan sehingga hampir tak ada kesalahan sedikitpun yang kami buat. Para pelanggan nampaknya juga terlihat puas dengan kinerja kami terbukti dengan semakin larisnya kafe dari hari ke hari.

Aku menjalankan setiap tugasku dengan sepenuh hati—begitu juga Sarah, James, dan Demian. Memang dewi fortuna sedang berpihak kepada kami hari ini, terbukti dengan para pelanggan yang tak henti-hentinya datang berkunjung dan terkesan dengan kafe tempat kami bekerja. Sosok Mr.Philip yang selalu kami hafal perawakannya pun datang dengan senyum dan semangat membuncah. Menambah kesenangan tersendiri bagi kami sebagai para pekerja disini. Ia meninggalkan kami dengan maksud agar kami lebih berkonsentrasi dalam bekerja.

“Amanda, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor 12!” Perintah James membuatku segera berlari ke arahnya menempatkan sepiring kue strawberry dan secangkir capuccino panas di atas baki milikku.

Aku mulai berjalan mencari meja bernomor 12 dan ya meja di pojokkan sana yang menjadi tujuanku kali ini.

“Pesanan Anda, Tuan.” Aku mengucapkannya dengan ramah. Meletakkan secangkir capuccino dan kue strawberry tersebut dan mulai berbalik meninggalkan meja bernomor 12 ini.

Aku mulai menapakkan kakiku beberapa langkah untuk menjauh dari meja itu dan mulai bergegas untuk memenuhi pesanan para pelanggan yang lainnya.

“Terimakasih, Amanda.”

Aku melonjak kaget mendengarnya. Suaranya yang serak dan khas berhasil membuatku mematung. Suara itu iya suara itu mengingatkanku pada lelaki di taman itu.

Aku berbalik menuju ke arahnya. Benar saja, siluet iris mata hijau dan rambut keritingnya melekat sama persis pada lelaki itu. Ia menatapku dengan senyuman miringnya tak lupa sepasang lesung pipinya tertempel di sana pula.

“Kau.....”sungguh jangan bangunkan aku walau ini hanyalah mimpi.

“Iya.. Selamat berjumpa lagi denganku, Nona Manis.”

Dan benar Dewi Fortuna kali ini memang sedang ingin berpihak padanya bukan kepadaku.

Nah ada yang tahuu tadi siapa??  So this is the 3rd chapter. Hope you like it. Don't forget the VOMMENTS. See you on the next  chapter.
Love, Angel.

The Universe [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang