BAB 1

387 110 76
                                    

Pic of Amanda Anderson with ponytail hair in mulmed.

"Amanda, bisakah kau antar vanilla latte milik pelanggan di meja sebelah sana?" ucapan James mengalihkan perhatianku dari mesin kasir hitam yang sedari tadi menjadi pengalih perhatianku selama beberapa menit yang lalu.

Aku mengangguk. Mengambil baki dan menempatkan dua cangkir vanilla latte panas di atasnya. Aku tersenyum sembari meletakkan dua cangkir tersebut di atas meja pelanggan.

Hari ini memang kafe terlihat ramai seperti hari-hari biasa. Cuaca yang mulai dingin dan cukup berangin mungkin memang salah satu dari beribu alasan yang ada mengapa orang-orang ini memilih singgah di kafe kami. Memang akhir-akhir ini cuaca sedang tidak bersahabat, misal saja dua pekan lalu terdapat badai salju yang mengharuskan kafe tutup. Atau dua hari lalu terdapat hujan badai yang lagi-lagi mengharuskan kafe tutup sementara waktu karena memang Mr.Philip-pemilik kafe ini tak mau mengambil risiko atas keselamatan para karyawannya.

"Hei!"Aku melonjak kaget tatkala Sarah-si barista menepuk bahuku dengan cukup keras.

"Kau tak apa, Amy? Seharian ini kau hanya diam saja."Amy, typical Sarah yang selalu memanggilku dengan sebutan singkatnya itu.

"Aku tak apa, Sarah. Tenang saja." Ia pun mendengus lega dan langsung kembali meneruskan pekerjaan yang ia tunda tadinya.

Kafe yang sedari tadi mulai ramai kini berangsur sepi. Mungkin hanya 4 atau 5 orang saja yang masih duduk di kursi mereka masing-masing. Segera, aku langsung beranjak dari kursi mesin kasir. Mengambil satu persatu cangkir kosong, piring kotor, atau tisu yang sengaja para pelanggan tinggalkan. Aku mulai mengelapnya satu persatu, menata kursi seperti semula hingga semua terlihat rapi sebelum kafe dibuka.

Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada James ketika ia menyerukan namaku di balik etalase berisikan roti dan makanan ringan lainnya. Sekarang para pelanggan telah pergi, menyisakan aku dan para pekerja lainnya. Memang cuaca sudah mulai sedikit berubah, kulirik jam dinding yang menggantung di dinding kafe. Masih jam 10 pagi, memang belum terlalu siang dan tentunya masih banyak orang yang berlalu lalang untuk menyelesaikan urusan mereka masing-masing.

Pekerjaanku telah selesai, begitu pula James, Sarah, dan pekerja kafe lainnya. Dan saatnya untuk beristirahat selama 10 menit sebagai istirahat kami. Jam istirahat kali ini masih sama seperti biasa. Dimulai dari lelucon James yang bisa dibilang tidak lucu sama sekali, aksi sulap Sarah, nyanyian Demian-sang koki kafe, ataupun aku yang hanya bisa diam dan tersenyum menanggapi tingkah laku mereka satu persatu.

Sungguh, bekerja disini selama kurang lebih satu bulan ini memang menjadi salah-satu aktivitas yang paling aku cintai dari aktivitas-aktivitas harian yang selalu ku lakukan setiap waktu. Rasanya disini aku menemukan kesenangan dan kehangatan sebuah keluarga. Kehangatan sebuah keluarga yang sangat aku rindukan.

"Hei, aku tidak melihat Mr.Philip pagi ini? Kemana dia?" tutur Sarah sambil membenahi gulungan rambut pirangnya.

Semua orang hanya terdiam dan saling memandang setelah Sarah melontarkan pertanyaan itu. Tak ada yang menjawab pertanyaannya hingga perhatian kami teralihkan dengan suara bunyi bel pintu kafe.

Pria itu, yang kini kuanggap sebagai ayahku berjalan dengan gagahnya. Kemeja kotak-kotak biru dan celana kedodoran miliknya membuat kami selalu hafal, ya pria itu adalah Mr.Philip.

"Selamat pagi anak-anak. Bagaimana lancar?" suara riuh mulai terdengar. Tanda jawaban setuju dari kami atas pertanyaan Mr.Philip.

Seperti biasa ia mulai menanyakan kabar kami satu-persatu, menanyakan tentang keadaan kafe, hingga berakhir dengan dirinya yang ikut bergabung dengan kami di sela-sela pekerjaan kami.

Kuakui Mr.Philip bukanlah seorang milyuner atau semacam apalah itu, ia hanya pensiunan seorang pegawai di salah satu bank swasta. Istrinya telah tiada bertepatan dengan pembangunan kafe ini, itulah alasan mengapa ia sangat sayang dengan kafe miliknya ini. Pernikahannya dengan istrinya memang sangat harmonis meskipun istri dan anaknya harus meninggal di hari yang sama. Keramahan dan kesabarannya lah yang membuat semua pekerja disini menyayanginya dan menganggapnya sebagai sosok ayah, meskipun sesungguhnya ia adalah atasan kami.

Setelah kedatangan Mr.Philip, kafe mulai kembali ramai mengingat bahwa jam makan siang bagi para pegawai telah tiba. Dengan gesit, kami menyelesaikan pekerjaan kami satu persatu, begitu pula aku. Sebagai satu-satunya pramusaji disini, memang cukup melelahkan mengingat betapa banyaknya pelanggan yang harus aku layani. Toh, itu juga sudah menjadi kewajiban dan makanan sehari-hariku. Lagipula, aku juga senang melakukan hal ini.

Kami disini memang bekerja selama dua belas jam penuh. Tak ayal, jika terkadang kami mengeluhkan itu. Namun, apa boleh buat kami juga membutuhkan biaya untuk kehidupan kami sehari-hari. Dan bekerja selama dua belas jam selama enam hari dalam seminggu pun telah menjadi rutinitas kami selama ini.

Sekali lagi, aku melirik jam yang menggantung di dinding kafe. Pukul 7 malam, sangat tidak terasa bahwa hari memang akan berganti begitu juga dengan jam kerja kami yang akan selesai satu jam lagi. Keramaian telah digantikan oleh keheningan di dalam kafe ini. Kini tugasku untuk merapikan keadaan kafe seperti semula. Memungut semua cangkir kotor, mengambil piring kotor, membuang tisu, atau segala sampah yang ditinggal para pelanggan.

Sambil mengelap dan menata kursi aku bersenandung kecil untuk menghibur diri. James dan Sarah pun juga demikian, mulai membersihkan kafe bagian tempat dimana mereka bekerja. Tak lupa Demian juga membersihkan bagian dapur kafe. Sedangkan Mr.Philip, mungkin masih berada di dalam ruangannya.

Akhirnya pekerjaan kami selesai. Bertepatan juga dengan berakhirnya jam kerja kami. Mr.Philip yang sedari tadi kami tunggu akhirnya muncul dengan beberapa map di tangannya. Senyum hangatnya pun muncul kembali.

"Terimakasih untuk hari ini, Anak-anak. Kerja kalian semakin hari memang semakin membaik. Selamat malam. Semoga hari kalian menyenangkan!" tuturnya meninggalkan kami.

Kami semua pun segera berkemas pulang. Hari ini, Sarah lah yang bertugas untuk mengunci kafe sekaligus membawa kuncinya. Memang Mr.Philip mempercayakan kafe miliknya seluruhnya pada kami.

"Amanda, butuh tumpangan? Sarah dan Demian kebetulan pulang bersamaku." ucap James menghampiriku sambil membetulkan mantel hitam miliknya.

"Tak usah, James. Merepotkan. Bus akan tiba sebentar lagi. Ngomong-ngomong terimakasih."tolakku halus padanya yang hanya dibalas anggukan dan tanda selamat tinggal.

Tak lama bus milikku datang. Aku segera menaikinya dan mulai mencari tempat duduk. Selama perjalanan, mataku sibuk untuk menjelajahi pemandangan Kota London. Hingga pandanganku teralihkan oleh berhentinya bus ini. Lantas, aku segera turun dan tak lupa mengucapkan terimakasih.

Jarak antara halte pemberhentian dan rumahku tidaklah jauh. Dari sini saja, aku dapat melihat rumah berpagar hitam milikku. Aku melangkahkan kaki menuju halaman rumah. Namun, lagi-lagi perhatianku pun teralihkan oleh suara nyaring dan tangisan. Aku berjalan dengan tak sabaran karena semakin lama suara itu semakin nyaring.

Aku membuka pintu rumah dengan kasar hingga aku dapat melihat dengan jelas pria brengsek itu menampar ibuku lagi dan lagi sambil membawa sebotol bir murahan di sebelah tangannya tanpa rasa bersalah.

Oh jangan lagi,Tuhan!

Heyy. Chapter 1 is up. Hope you like it.
P.S. Vote and comment yaa. Maklum masih newbie.

The Universe [H.S.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang