Broken Home - satu

5.1K 111 7
                                    

Menjadi anak broken home bukanlah suatu pilihan. Terlebih lagi, menjadi anak Broken Home tidaklah mudah. Banyak hal-hal baru yang harus kita rasakan setiap harinya. Perasaan iri, sedih dan kesepian yang menyelimuti hari-hari nya.

Ketika semua orang menceritakan betapa hebatnya kedua orang tua mereka. Menceritakan tentang liburan bersama keluarga yang utuh. Menceritakan hal-hal konyol saat bersantai bersama keluarga mereka dirumah.

Jujur. Terkadang perasaan iri itu muncul. Untuk sesaat hatiku merasa sesak dan ter-iris. Bahkan aku tidak punya hal-hal sesederhana itu bersama dengan keluarga ku.

Pikiran ku melayang ke masa lalu.

Dulu.

Iya. Dulu keluargaku juga pernah bahagia seperti keluarga lainnya.

Tapi dulu...

Dulu banget..

Sekitar 9 tahun yang lalu.

Keluarga ku memang seperti keluarga pada umumnya. Ada papah, mamah, aku dan Abizar (adikku). Setiap weekend kami selalu menghabiskan waktu diluar rumah. Tak jarang kami selalu menginap di vila milik papah setiap weekend tiba.

Hari-hari kami dipenuhi dengan tawa dan canda yang selalu ramai ditelinga. Tak ada kesedihan yang terpancar dari semua wajah keluarga ku. Hanya ada senyuman hangat dari keluarga yang membuat hati sejuk.

Tapi itu semua hanya kenangan. Kenangan yang membuat ku sedih jika aku mengingat nya. Membuat air mataku jatuh dengan sendirinya saat mengingat itu semua. Semua itu berakhir begitu singkat.

Pikiranku lagi-lagi melayang.

Dimana setiap hari. Piring-piring bertaburan hancur berkeping-keping. Suara saling membentak tak mau kalah dengan nada yang tinggi dan penuh emosi. Dan diakhiri dengan suara bantingan pintu yang mereka buat.

Saat itu, sekitar umurku 8 tahun aku sudah mengalami itu semua. Aku yang menyaksikan saat-saat seperti itu, yang seharusnya aku tidak alami tapi harus aku jalani.

Saat itu aku hanya bisa meringkuk ketakutan sambil menahan air mataku mengalir. Karena aku takut, mereka akan pergi jauh meninggalkan aku dan Abizar(adikku).

Saat itu aku benar-benar tidak mengerti. Apa alasan mereka bertengkar. Aku juga tak mengerti apa yang mereka lakukan. Yang aku tahu mereka hanyalah dua insan manusia yang dulunya saling berkomitmen untuk bersama tapi kini mereka berakhir untuk saling berpisah. Yaitu dengan cara bercerai.

Sampai pada akhirnya, hari dimana mereka menanyakan pertanyaan yang aku tidak mengerti sama sekali saat itu.

"Kamu setuju kan kalau papah pisah sama mamah?" Tanya papah sambil menangkup wajahku dengan tatapan penuh arti. Aku sebenarnya bingung saat itu, apalagi umurku saat itu delapan tahun. Anak kecil mana yang ngerti tentang perpisahan?.

Untuk anak seumuran ku, pertanyaan seperti itu lebih sulit dari pada pelajaran perkalian Matematika. Aku pikir jika mereka berpisah mereka bisa berbaikan kembali dan semua nya bisa berjalan seperti dulu.

Sebenarnya, Aku muak dengan keadaan ini, mendengar perdebatan mereka dan bantingan barang apa pun yang ada disekitarnya.

Dengan kepolosan anak berumur delapan tahun. akhirnya aku hanya mengangguk. Mungkin dengan cara papah dan mamah berpisah mereka tidak bertengkar lagi. Pikirku.

"Ya"

Sebuah jawaban singkat tanpa aku pikir panjang terlebih dahulu. Setelah jawaban yang aku berikan barusan, terlihat mamah yang sedang tersenyum miring penuh kemenangan dan papah kini memeluk ku dengan erat.



______________________________________________________________________

she's broken because she's believed

______________________________________________________________________

Broken HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang