Sejak kecil, aku bukanlah anak yang terpandai atau tercantik. Aku si biasa. Manusia normal yang terkadang dilupakan eksistensinya. Tidak pernah sekali pun aku merasa bangga atas diriku sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa beginilah caraku hidup. Aku adalah tipe yang mengikuti arus. Ke mana hidup membawaku, ke sanalah aku pergi. Aku enggan melawan apalagi menentang.
Begitupun ketika aku lulus kuliah dan akhirnya bisa bekerja. Si aku yang bernama Minori Ramlan ini tidak punya harapan tingggi kepada cita-citanya, kecuali satu. Jodoh. Untuk urusan satu ini aku pantang menyerah. Tidak peduli jika aku dihempaskan cinta berkali-kali, toh aku percaya setiap yang hidup pasti memiliki jodoh masing-masing.
"Udah lihat?"
Aku hampir terlonjak dari kursi saat mendengar suara berat dari belakangku. Ersad tadi menyuruhku membuka laptopnya sebelum dia kembali ke kamar mandi. Namun bagaimana aku bisa lihat kalau dia tidak memberikan passwordnya?
"Password-nya?" tanyaku.
"Monyet lu," jawabnya sambil mengambil kameranya.
Mataku mendelik. "Sorry ya, kamu bisa sopan sedikit nggak?"
"Itu password-nya. Monyet lu. Disambung semua." Ada senyum mengejek di suaranya. Sialan.
"Oh, saya pikir kamu ngatain saya." Aku mengetikkan password dan masuk ke desktop.
"Permisi." Suaranya hampir tidak terdengar. Namun dia sudah membungkuk di sampingku. Wajah kami sejajar. Dia yang segar baru mandi dan aku yang lecek kucel tiada pesona ini hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter.
Mau tidak mau, aku menikmati pemandangan beraroma surga ini.
"Lihatnya ke laptop bukan ke saya." Suaranya terdengar santai tapi menancap langsung ke dadaku. Dalem.
Aku memundurkan kursi dan bangkit. Mencoba mengatasi situasi canggung yang aku alami sendiri, karena Ersad seratus persen tidak terganggu meskipun aku menatapnya seharian.
"Nah, ini!" Dia membuka beberapa hasil fotonya. Aku kembali duduk dan mengamati hasil karya Ersad.
"Ini belum saya edit. Hasilnya nanti lebih baik," ujarnya. Aku menggerakkan mouse, melihat beberapa foto yang lain. Aku tidak bisa mengakui apa pun kecuali hasil karyanya memang mengagumkan.
"Kamu mau edit sekarang?"
Dia mengangguk. "Nanti malem udah beres."
Aku langsung bangkit dan mengambil tas. "Kalau begitu saya pamit dulu. Sampai ketemu nanti malam."
"Nggak minum dulu?" Dia bertanya saat aku sudah dekat dengan pintu.
Aku menoleh sambil tersenyum. "Nggak usah. Kamu pasti terganggu kalau ada saya di sini." Kemudian aku melangkahkan kaki keluar kamar tanpa menunggu kata-kata darinya.
***
"Siang, Pak." Security yang kusapa menganggukkan kepala.
"Mbak Minori tumben udah balik ke kantor?"
"Nanti sore ke sana lagi, Pak. Ada file yang ketinggalan." Aku beralasan mengambil file yang tertinggal. Padahal tujuanku ke kantor adalah ngadem alias leyeh-leyeh sebentar. Entah mengapa aku merasa suasana yang menyesakkan saat berada di kamar bersama Ersad. Ada hal yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Suasananya terlalu canggung dan Ersad adalah manusia yang sulit ditebak. Aku tidak tahu apa yang akan diucapkannya, tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Sehingga aku langsung mengambil langkah seribu dan pergi dari kamar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minori Mengejar Cinta (TERBIT)
ChickLitGagal menikah di usia 33 tahun tidak membuat Minori patah semangat. Dia percaya, suatu hari cinta sejati akan datang padanya. Berbeda dengan Minori, Ersad justru tidak percaya dengan cinta. Trauma masa lalu membuat pria berusia 35 tahun itu memutus...