Bab 9 : Jika beberapa luka tidak berdarah,maka beberapa rindu tidak butuh bukti

5.7K 1.1K 75
                                    

Ersad(Source : pinterest)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ersad
(Source : pinterest)

Beberapa hari setelah penolakan tidak tersirat dari Ersad, aku dalam kondisi malas berbicara. Dalam beberapa meeting, aku memilih diam dan mendengarkan. Lebih sakit dari ini sudah pernah kurasakan saat Arik membatalkan pernikahan. Tapi siapa bilang patah hati hanya untuk sebuah hubungan, jatuh cinta diam-diam adalah juaranya patah hati yang paling menyakitkan.

"Mbak, mau makan apa?" Bagus mendatangi mejaku. Mungkin dia khawatir melihat napsu makanku yang menurun jauh.

"Gue malas makan, Gus. Udah sarapan tadi di rumah." Aku berbohong. Tapi aku benar-benar tidak napsu makan. Dan jika aku terus menolak tanpa alasan yang jelas, satu per satu dari mereka akan terus datang menawariku makan.

"Mbak, lo mau cuti? Kayaknya lagi banyak pikiran." Kali ini Faras yang terlihat mengkhawatirkan keadaanku.

Aku menggeleng. "Gue nggak apa-apa. Oiya, untuk konsep Teh Cucuk udah final, ya? Besok siang kita meeting sama tim produksi. Siapin bahannya." Faras dan Bagus serempak mengangguk kemudian kembali ke meja kerja mereka.

Kubenamkan kepalaku kembali ke meja. Sepertinya aku terserang flu, badanku terasa sakit semua.

"Makan dulu, Ramlan."

Kuangkat kepalaku dan melihat Emir menaruh makanan di meja, membuka sumpit dan botol Aqua untukku. Dengan malas kubuka bungkusan yang dia bawa. Mie yamin. Bagaimana dia tahu kesukaanku? Ah ya, cocokcocokan.com. Apa kabar situs itu?

Makanan di kantin kantorku tidaklah terlalu enak. Jika ingin makanan yang enak dan murah, kami harus berjalan cukup jauh, sekitar lima ratus meter. Dan mie yamin yang terkenal ini berada di sana. Meskipun aku masih jengkel dan beberapa hari ini tidak menyapa Emir, aku harus menghargai usahanya. Lagi pula, mie yamin terlalu enak untuk dilewatkan.

Setelah aku mulai makan beberapa suap dan menghabiskan hampir separuh porsi, barulah Emir berani bicara.

"Ramlan, saya minta maaf."

Aku tetap diam sambil berkonsentrasi pada mie yaminku dan menunggunya bicara.

"Aku dan Ersad...," dia tampak ragu. "Kami punya masa lalu yang kurang baik."

Kuletakkan sumpit dan menatap mata kelabu yang terlihat sendu. Binarnya beberapa hari ini hilang. "Emir, lo pindah ke perusahaan ini untuk apa?"

"Kerja," jawabnya cepat.

"Bagus. Jadi siapa pun yang akan kerja dengan lo. Sekalipun dia punya dendam pribadi, masalah besar, atau apa pun itu, lo mesti profesional." Kuhela napas berat. Nasihat yang sulit.

"Saya minta maaf." Dia menunduk. Persis seperti bocah berumur tujuh tahun yang merasa salah kepada ibunya.

"Emir, dengerin gue. Lo harus bisa bertahan di sini. Nantinya akan mudah bagi jenjang karier lo karena di sini kami banyak bekerja sama dengan perusahaan besar. Okay?" kuyakinkan dia sekali lagi.

Minori Mengejar Cinta (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang