Prolog

103 5 0
                                    

Jumat, 10 Februari 2017 (Ba'da Maghrib, sekitar 18.30 WIB)

"Eh, Qi, tungguin aku dong. Barengan berangkatnya ya."

"Eh, Nanta. Iya ayuk lah. Sorry sorry. Tadi udah mau aku sapa kamunya, tapi takut salah manggil kalo itu bukan kamu. Kan, nggak lucu banget." Balas Syauqi.

Mereka pun akhirnya berjalan berdua menuju kelas. Sungguh beruntung sekali, walaupun berbeda asrama, tapi mereka berdua berpapasan di jalan dan akhirnya bisa berangkat menuju satu tujuan yang sama. Hal ini adalah bak durian runtuh bagi Ananta, yang kala itu sedang memakai sandal ketika berangkat ke kelas yang sama dengan Syauqi. Sungguh beruntung sekali Ananta bisa bertemu Syauqi pada malam itu, si anak yang dianggap banyak orang pendiam, rajin, rapi, dan pandai, tapi juga pemalu. Meskipun tubuh Syauqi hanya berselisih 3-5 cm lebih rendah dari Ananta, setidaknya tubuhnya masih bisa menutupi bagian kaki Ananta yang beralaskan sandal ketika hendak masuk ke dalam kelas, sesuatu yang tak seharusnya digunakan saat mengikuti pembelajaran kecuali apabila memang ada alasan tertentu.

Sambil berjalan menuju kelas, Syauqi mencoba membuka pembicaraan dengan temannya yang sudah kurang lebih 5 bulan yang lalu sekelas dengannya. "Kok pake sendal sih, Nan? Lagi sakit ya kakimu?" Ananta sedikit cengengesan mendengar pertanyaan Syauqi. Nampak kaku memang, karena Syauqi belum pernah terlihat akrab dengan temannya itu sebelumnya. "Enggak sih Qi. Cuman tadi pas berangkat ke masjid sempet mikir mending sendalan aja biar nggak ribet wudlunya. Lagian, sekarang ini yang bakal masuk wali kelas kita kan? Halah nggak apa kali kalo sama beliau mah."

Begitulah Ananta, sesosok manusia yang terkadang menggampangkan hal yang sepele. Hal sepele yang justru menjadi salah satu penilaian di mata orang lain. Tapi, Ananta sungguh tak peduli dengan yang demikian pada malam ini. Yang ada dipikirannya mungkin, "Yang penting mah nggak telat masuk kelas. Daripada ribet harus ganti sepatu balik ke asrama lagi yang lumayan jauh dari masjid." Mungkin itulah yang ada dipikirannya. Karena kita tak akan pernah tahu apa yang dipikirkan oleh seseorang kecuali orang tersebut mengungkapkan secara langsung isi otaknya kepada yang lainnya.

Lain Ananta, lain lagi dengan Syauqi. Seorang yang dipandang banyak orang sebagai "manusia jenius". Ya, walaupun tanpa menggunakan kacamata yang biasanya menjadi penanda kepandaian seseorang, Syauqi seolah memancarkan aura jenius pada orang di sekitarnya. Ditambah lagi, sifatnya yang cenderung pendiam juga kepada mereka yang tidak terlalu akrab dengannya. Termasuk Ananta salah satunya. Mungkin, Ananta terheran mengapa ada manusia sejenis Syauqi di muka bumi ini. Jenius dan pendiam. Seakan sudah menjadi satu paket komplit bagi mereka yang memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tapi, nampaknya Ananta menilai ada yang berbeda dengan Syauqi. Ia menilai kalau Syauqi ini tergolong mudah diajak bicara dan tidak segan untuk berbagi.

Hanya butuh waktu selama kurang lebih 5 menit, akhirnya mereka sampai pada tujuan mereka. Kelas Bahasa Arab, yang kebetulan saat itu terjadwal wali kelas mereka yang akan mengajar.

Sesampainya di depan pintu, Ananta menyuruh Syauqi berada di depannya dan ia pun mengekor di belakang Syauqi. Syauqi menengok ke dalam, ternyata kawan-kawannya sebagian telah datang, berikut wali kelasnya yang tengah duduk di muka kelas.

"Qi, tutupin aku ya di belakangmu. Aku jadi agak sungkan nih pake' sendal ke kelas."

Hanya dibalas dengan anggukan Syauqi, mereka akhirnya menuju ke meja wali kelas dan salaman dengan beliau. Beberapa saat setelahnya, pelajaran pun dimulai. Lagi, Ananta masih mengekor duduk di belakang Syauqi. Kalian tahu apa alasannya? Karena seminggu terakhir Ananta jarang sekali masuk kelas ini, dan jadwal malam ini memang mengulang kembali pelajaran selama seminggu ke belakang, alias muroja'ah.

"Eh, Qi. Ini artinya apaan ya?"

"Yang mana sih, Nan?"

"Ituloh kata yang kelima baris ketiga?"

You (Ku tak pernah paham siapakah dirimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang