Final Letter

110 4 5
                                    

Sarah tiba di sebuah gedung bertingkat yang bagus. Ia membayar taksi dan segera masuk menemui resepsionis.

"Siang Bu, saya ingin bertemu dengan Bapak Hermawan Andi."
"Apa ibu bernama Sarah Wijaya?", tanya resepsionis perusahaan itu yang menurut Sarah terlalu spontan dan to the point
Sarah menganggukkan kepalanya, "Ya, nama saya Sarah Wijaya."
"Oh, mari Bu. Pak Hermawan sudah menunggu kedatangan Ibu."

Sarah mengikuti Lidya, salah satu resepsionis perusahaan Elina masuk ke dalam sebuah ruangan.
"Pak, Bu Sarah sudah datang."

Sarah merasa ada yang aneh. Mengapa bukan Elina yang menemuinya? Mengapa resepsionis itu tampak sedih ketika mengantarnya ke ruangan Hermawan?

Di hadapannya duduk seorang laki-laki yang pernah ia lihat sebelumnya. Ia adalah laki-laki yang menumpahkan kopi pada bajunya di bandara. Namun, hal itu tidaklah penting sekarang. Sarah mengamati ruangan itu. Suatu hiasan di meja ruangan itu menarik perhatiannya. Elina Hartono, SE. Sarah pun mengeluarkan pertanyaan yang sudah ingin ia ucapkan sejak datang di gedung ini,
"Di mana Elina?"

****

Sarah duduk dalam mobil Hermawan sambil menunggu mereka sampai di tujuan. Di tangan Sarah sudah ada sebuah amplop. Hermawan tidak bicara apa-apa. Ia hanya menyuruh Sarah untung mengikuti instruksinya karena ini yang diinginkan oleh Elina.

Sarah merasa cemas. Berdasarkan pengamatannya terhadap tingkah laku orang-orang di perusahaan itu, ia memiliki hipotesis. Hipotesis yang ia harap tidak terjadi, karena ia cukup mengenal sahabatnya itu.

Namun, semua harapan Sarah hilang ketika Hermawan memarkirkan mobilnya di sebuah pemakaman. Sarah menangis. Dugaannya benar. Ia memegang erat amplop yang sudah dipegangnya sejak setengah jam yang lalu. Ia keluar dari mobil, kembali mengikuti Hermawan.

****

Sarah tidak pernah menyangka Elina pergi secepat ini. Ia juga tidak pernah menyangka Elina akan mengirimkan banyak uang hanya untuk dihabiskan untuk liburan. Ia tidak pernah menyangka apapun yang terjadi dalam hidup ini. Amplop yang mungkin adalah surat terakhir dari Elina masih dipegang oleh Sarah. Ia tidak berani membukanya. Dan Hermawan yang baru Sarah temui tadi siang, masih berdiri di dekat pintu gerbang pemakaman, memberi Sarah jarak.

Dengan tangan gemetar, dibukanya surat itu.

Dear Sarah,
Hidup penuh dengan kejutan. Dan mungkin kejutan kali ini bukan kejutan yang terbaik bagimu.

Aku menderita kanker selama empat tahun terakhir ini. Aku tidak pernah beritahu siapa-siapa. Hanya pengacaraku, Hermawan. Dan aku berpikir. Siapa yang akan melanjutkan memimpin perusahaanku?

Mungkin aku mendapatkan banyak teman baru dalam profesi ini, entah dari kalangan pegawai ataupun klient. Tapi aku sadar, tak ada teman yang menyayangiku setulus kamu, Sarah. Kebanyakan orang hanya berteman denganku untuk maksud lain.

Maka dari itu, aku sengaja membuat rencana travelling ini untukmu. Aku tahu kamu tidak akan pergi jika kamu mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Aku ingin kamu merasa bahagia. Aku ingin kamu merasa bebas. Because you deserve it. You really do.

Aku menuliskan semua surat ini saat dokter memvonis hidupku sisa dua minggu. Dan mungkin memang benar. Menulis saja sudah perjuangan keras bagiku saat ini.

Tujuanku membuat surat dan rencana perjalanan ini bukan untuk membuatmu sedih, tapi aku ingin kamu merasakan apa yang bisa aku rasakan dulu ketika aku masih sehat. Inilah salah satu keinginan terakhirku, selain menjadikanmu pengganti sebagai pemimpin di perusahaanku.

Sekarang, kamu sudah tidak perlu cemas dengan nasib keluargamu. Sometimes, it's okay to do yourself a favor. This is your chance.

Love,
Elina

Hermawan berjalan mendekati Sarah, "Elina meninggal tiga hari setelah kamu berangkat ke Sydney. Setidaknya, saat ia masih hidup, salah satu goals yang dibuatnya untukmu terwujud."

****

Elina Hartono
Lahir : 15 April 1987
Wafat : 28 Oktober 2017

Dear SarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang