Teman

939 97 10
                                    

Aku terus berjalan dan tak menghiraukan apa pun yang dikatakan oleh Ataska. Aku sangat muak dengan dia yang selalu berusaha untuk tetap berada di sampingku.

Langkahku semakin lebar dan Ataska mulai terbang untuk menyimbangi langkahku. Kulangkahkan kakiku memasuki semak-semak yang begitu rendah dan cukup sulit dilalui dengan cara terbang. Tapi aku dapat melaluinya karena aku memang sudah tak dapat terbang lagi.

"By...Ruby...kumohon kembalilah," terdengar suara Ataska yang memanggilku dengan frustasi karena dia tak dapat masuk ke dalam semak-semak untuk mengejarku.

Aku tak menghiraukan Ataska, aku terus berjalan memasuki semak yang semakin dalam semakin sulit untuk kulalui. Aku menggerakkan tanganku ke kiri dan ke kanan, dan semak-semak itu menyingkir dengan sendirinya mmeberiku jalan untuk melewatinya.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Aku sedikit kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelumnya aku tak pernah tahu jika aku mampu mengendalikan semak-semak seperti ini.

Aku terus berjalan hingga akhirnya aku dapat keluar dari semak-semak dan berujung pada sebuah pada rumput yang begitu hijau dan menawan hati. Rumput tumbuh dengan suburnya bagai permadani alami yang dapat menyejukan hati dan jiwa.

Kurebahkan tubuhku di atas rerumputan hijau dan mulai menatap langit yang bersinar dengan indahnya. Aku menggerakkan tanganku dengan perlahan seolah membuat lukisan di atas awan.

Ini memang kebiasaanku untuk menggerak-gerakkan tanganku di udara seperti sedang melukis. Hanya bedanya, biasanya aku melakukan semuanya di rumahku, bukan di tempat terbuka seperti ini. Hal ini selalu berhasil membuatku merasa senang dan tenang.

"Ada apa ini?" tanyaku saat tanpa sadar disekitarku telah tumbuh berbagai jenis bunga.

Aku segera bangkit dari tidurku dan memandang semua bunga yang ada di sekitarku. Bunga-bunga itu tumbuh dengan begitu suburnya dan semerbak wanginya menyebar ke semua indra penciumanku.

Aku masih menatap bunga-bunga itu tak percaya. Bagaimana mungkin aku dapat menumbuhkan bunga sedangvaku adalah peri warior? Aku seharusnya mampu berperang bukan mampu menumbuhkan bunga seperti ini?

"Bunga yang cantik," terdengar suara seseorang yang mulai mendekat ke arahku.

Aku berbalik dan menatap peri yang kini hanya terbang rendah dan bahkan hampir menyentuh tanah. Dia seorang peri yang sangat cantik dan begitu menawan dengan mata biru dan rambut hitam bergelombang.

"Aku Elsie," katanya memperkenalkan dirinya padaku.

"Aku Ruby," kataku sambil menatapnya.

"Aku sudah tahu, kau peri yang yang di anggap tidak memiliki kemampuan, tapi sepertinya mereka salah," katanya sambil menelitiku.

Sejujurnya, aku sendiri tak tahu darimana Elsie berasal dan bagaimana dia tahu diriku. Tapi yang jelas, sepertinya dia salah satu peri warior yang bertugas untuk menjaga perdamaian di dunia peri.

"Kemampuan, apa maksudmu? Aku bahkan tak memiliki kemampuan apa-apa," tanyaku dengan wajah yang kebingungan dan tentu saja sedikit ketakutan. Aku takut kalau Elsie akan menyadari bahwa akulah yang membuat bunga-bunga itu tumbuh.

"Kemampuan meluluhkan hati Ataska," jawab Elsie.

Ataska, ah...kenapa aku tak menyadari kalau Elsie pasti mengetahui semuanya dari Ataska. Dia adalah peri yang bertugas menjaga perdamaian, sama seperti Ataska.

Aku langsung memalingkan wajahku menatap hamparan rumput yang begitu hijau. Aku tak ingin mendengar nama Ataska lagi, dia telah menyakitiku dan menghancurkan hidupku.

Dan sekarang apa yang dikatakan oleh Elsie? Aku mampu melukuhkan hati Ataska? Ah...sepertinya itu hanya omong kosong Elsie saja.

"Sudahlah, tak usah membawa-bawa nama Ataska," kataku sambil tetap menatap hamparan padan rumput.

"Tapi sungguh...," kata Elsie.

"Jika kamu ingin membawa-bawa nama Ataska, lebih baik kamu pergi saja," kataku tanpa menatap Elsie.

"Baiklah, maafkan aku. Aku hanya ingin berkenalan dan berteman denganmu," kata Elsie sambil berjalan ke sampingku.

Aku menghirup napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Aku tak pernah menyangka jika akan ada orang yang berkata seperti itu kepadaku.

"Kenapa kau hanya diam?" tanya Elsie saat aku tak mengatakan sepatah kata pun.

"Aku tak pernah menyangka akan ada peri yang mengajakku berteman, apa kau tidak takut padaku?"

"Takut, untuk apa takut?"

"Mataku berwarna kuning dan di anggap sebagai peri pembawa petaka,"

"Bagaimana bisa dianggap sebagai pembawa petaka hanya karena iris matamu berwarna kuning?"

Mendengar pertanyaan Elsie aku terdiam. Aku sendiri tak pernah paham bagaimana aku bisa dianggap pembawa petaka hanya karena iris mataku yang berbeda.

Tapi kenyataannya memang seperti itu, aku dianggap pembawa petaka hanya karena aku berbeda. Iris mataku memang berwarna kuning yang tak lazim bagi peri warior seperti kami.

"Entahlah, aku tak tahu," kataku setelah diam beberapa saat.

"Apa kau tidak bosan hanya tiduran di padang rumput seperti ini? Bagaimana kalau kita terbang saja?" kata Elsie.

Kembali aku terdiam mendengar ajakan dari Elsie. Aku tak paham bagaimana Elsie tak mengetahui kalau sayapku tidak lagi lengkap seperti sayapnya.

"Maaf Els, aku tak dapat terbang bersamamu," kataku sambil menundukkan kepalaku dan menahan tangis yang siap meluncur membasahi kedua belah pipiku.

"Kenapa?" tanya Elsie dengan wajah yang terlihat begitu kaget.

"Sayapku patah," kataku sambil menggit bibirku.

"Ya Tuhan...bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Elsie sambik menutup mulutnya karena kaget.

Ditanya penyebab sayapku patah, seketika membawaku pada kenangan di tepi sungai saat Ataska memotong sayapku tanpa belas kasihan.

Aku semakin menggigit bibirku agar tangisku tidak membasahi pipiku dan aku tidak sampai mengatakan bahwa Ataska adalah  penyebab semuanya.

"Ini adalah salah satu bukti bahwa aku adalah pembawa petaka," kataku  sambil terus menundukkan kepalaku.

"Bagaimana kalau kamu aku pegangi agar dapat terbang?" tanya Elsie sambil berusaha mebghiburku.

Mendengar perkataan Elsie seketika mataku berbinar dan mendapatkan secercah harapan baru. Setidaknya selain aku memiliki teman,aku dapat melihat indahnya hutan dari ketinggian.

"Mungkin lain kali Els, aku di sini dulu," kataku sambil menatap hamparan padang rumput.

"Kamu yakin?"

"Ya Els, mungkin lain kali saja,"

"Baiklah, lain kali kau jangan menolak permintaanku,"

"Ya Els,"

"Aku pergi dulu, aku harus patroli,"

"Hati-hati,"

Kini aku kembali dalam kesendirianku. Aku menatap bunga-bunga yang tadi tumbuh karena ulahku. Aku masih tak percaya kalau aku mampu melakukan semua ini. Aku peri tanpa kemampuan, tapi aku mampu melakukan hal yang tak bisa peri lain lakukan.

Aku berjalan ke arah bunga-bunga itu dan mulai melihatnya dengan seksama dari jarak yang begitu dekat. Warna bunga-bunga itu sangat cerah dan menawan hati bagi siapa saja yang melihatnya.

Perlahan aku memetik sebuah bunga berwarna merah yang begitu indah dan menggoda hatiku. Bunga yang setengah kuncup itu benar-benar wangi dan semerbak.

"Aaaggghhhh...," kataku kaget saat melihat setitik darah keluar dari tangkai dimana bunga itu tadi berada.

The Missing Of RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang