Epilog

1K 91 50
                                    

Aku menatap padang rumput yang hijau, tempat di mana aku bertemu dengan Elsie tempo hari. Satu pertemuan yang menjadi petaka bagi kawasan peri warior walau tidak sampai menghanguskan semuanya.

Setelah kejadian itu, semuanya kembali mulai membangun tempat tinggal mereka secara gotong royong. Dan rumahku, tenang saja rumahku tak hancur bahkan tak rusak sama sekali. Satu keuntungan karena aku tinggal di atas tanah bukan di atas pohon.

Soal Elsie, peradilan untuknya sedang berlangsung dan aku tak mau ikut campur mengenai hal itu. Biarkan semua kesalahan Elsie di pertanggung jawabkan olehnya dan itu tentu saja urusan para penguasa bukan urusanku yang seorang peri biasa dan tak berarti.

Namun dari selentingan kabar yang kudengar, Elsie melakukan semua itu karena dia memiliki dendam pribadi pada peri warior. Kabarnya dia pernah terusir dari kawanan ini karena dia mempelajari suatu ilmu yang terlarang bagi seluruh peri manapun.

Aku sendiri tak pernah tahu ilmu apa yang terlarang di pelajari oleh para peri karena selama aku membaca berbagai jenis buku tak penah kutemukan ilmu apapun yang terlarang bagi peri manapun.

"By...," terdengar suara peri yang begitu aku kenal, peri yang berjuang bersamaku saat menghadapi Naga dan Elsie, siapa lagi kalau bukan Ataska.

Aku mengalihkan pandanganku dan menatap ke arah suara itu berasal. Tak jauh dariku berdiri Ataska sambil menyunggingkan senyum yang cukup indah dan mata birunya berbinar menawan hati siapapun yang melihatnya. Hhhmmm ... pantas saja banyak peri perempuan yang tergila-gila padanya, kini baru aku sadari pesona apa yang dia miliki.

"Ya Ka...," kataku saat Ataska sudah berada di sampingku.

"Lagi apa?" tanya Ataska yang sangat terlihat sekali kalau itu hanya satu pertanyaan basa-basi saja.

"Aku sedang menatap indahnya padang rumput," jawabku sambil menatap kembali pada hamparan padang rumput yang ada di hadapanku.

Tak ada kata lagi antara kami berdua, kami sama-sama menatap ke hamparan padang rumput dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sesungguhnya aku ingin bertanya mengenai alasan Ataska memotong sayapku, tapi aku mengurungkannya karena takut akan membuat suasana yang mulai membaik ini hancur hanya karena pertanyaanku.

Ya, semua kejadian yang aku alami mulai dari petualanganku di hutan terlarang, melawan Naga dan Elsie, menjadi satu pelajaran berharaga bagiku. Bagaimana teman itu berarti dan kita harus selalu bekerja sama dengan mereka dalam menghadapi satu permasalahan yang menyangkut semua orang.

Kalau sudah begitu, bagaimana aku bisa mempertanyakan alasan Ataska memotong sayapku dan memulai percikan permusuhan baru? Bukankah memaafkan dan berdamai dengan keadaan akan lebih indah?

"By...," kata Ataska pelan.

"Hhhmmm..." kataku tanpa menatap Ataska.

"Kamu masih parah padaku?" tanya Ataska sambil menatapku.

"Marah? Kenapa?" tanyaku sambil balas menatap mata sebiru langit milik Ataska.

"Karena sayapmu...," kata Ataska yang sepertinya sedikit tidak enak dengan kejadian itu.

"Ah soal itu. Aku sudah tak marah walau aku masih penasaran kenapa kamu memotong sayapku bukan mengobatinya?" tanyaku sambil mengalihkan pandanganku.

"Sayapmu patah parah dan itu tak akan bisa di obati, jika di pertahankan akan mengganggu aktivitasmu. Atau lebih parahnya sayap itu bisa membusuk dan akan membuat bagian tubuhmu yang lain membusuk. Jadi lebih baik aku memotongnya," kata Ataska menjelaskan.

Aku baru tahu jika Ataska melakukan hal itu untuk kebaikanku. Selama ini aku sudah salah paham padanya.

"Maafkan aku Ka...," kataku sambil menatapnya kembali.

"Tidak apa By, aku memahami perasaanmu," kata Ataska sambil menggenggam tanganku.

"Ruby...," terdengar suara beberapa peri mendekat dan hal itu menjadi akhir daribpercakapanku dengan Ataska.

Kami menatap ke arah suara itu berasal. Aku melihat begitu banyak peri, termasuk Heina dan teman-temannya. Mereka membawa karangan bunga dan mengalungkannya padaku. Ada rasa tak percaya jika mereka bersikap bergitu manis padaku.

"Terima kasih By," kata salah satu peri.

"Tidak apa-apa, itu sudah kewajibanku," kataku sambil menyunggingkan seutas senyum.

"By...," tiba-tiba aku mendengar suara lain yang begitu familiar di telingaku.

Aku mengenal suara itu, karena suara itu adalah suara orang yang hampir setiap hari menghinaku. Dia adalah Heina.

Deg ... seketika jantungku berdegup kencang karena khawatir jika dia akan menghinaku sama seperti biasanya. Aku sedikit mundur dan menjauh dari Heina.

"Tidak By," kata Heina sambil menggenggam tanganku, "Aku tidak akan melakukan hal yang akan menyakitimi."

Mendengar perkataannya aku mengerutkan kening bingung. Aku tak yakin bagaimana seorang Heina bisa bersikap seperti ini?

"Aku tahu aku sudah salah karena selama ini selalu menghinamu. Aku hanya menilaimu dari kekuranganmu, dari tampilanmu tanpa melihat apa yang ada dalam diri kamu.

"Aku malu sama kamu. Kamu orang yang sering kucela sebagai peri yang berbeda. Tapi saat kejadian kemarin justru kamu yang telah menyelamatkan kami semua.

"Kamu peri yang kuanggap tak memiliki kelebihan, justru mampu mengalahkan mereka dan melindungi kami yang selalu menghinamu. Tapi aku, peri yang memiliki kemampuan justru malah bersembunyi. Maafkan aku By," kata Heina dengan mata yang berkaca-kaca.

"Setiap orang pernah salah, dan aku memaafkanmu. Bukankah kita sesama kawanan berteman dan bersaudara?" kataku sambil menggenggam tangan Heina.

"Ya By, terima kasih. Maafkan aku karena telah menilaimu dari tampilanmu bukan hatimu. Aku tahu, kita tak boleh menilai dari luar, tapi harus menilai dalamnya," kata Heina sambil memelukku erat.

Semua peri bersorak sorai atas apa yang mereka saksikan. Kini aku tak sendiri lagi, aku memiliki banyak teman yang akan selalu menghiasi hari-hariku.

The End

The Missing Of RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang