Hutan Terlarang

925 98 7
                                    

Berbekal sebuah peta yang terselip di dalam buku, aku bertekad untuk mencari sancy diamond. Ya, aku penasaran apakah benar aku adalah peri berkemampuan khusus atau bukan?

Aku mulai melangkahkan kakiku menyusuri area hutan peri warior yang semakin lama semakin gelap. Hutan ini merupakan hutan terlarang di injak oleh siapa pun. Menurut mitos, ada sebuah naga jahat tinggal di hutan yang gelap ini.

"Naga? Hhhmmm...sepertinya itu hanya mitos," gumamku saat kakiku telah memasuki seperempat area hutan terlarang ini.

Aku terus berjalan dan tak menghiraukan gelapnya hutan. Aku memberanikan diri dengan apa pun yang ada di dalam hutan ini. Terkadang aku mendengar bunyi gemerisik angin yang terdengar begitu riuh. Kadang juga aku mendengar suara ranting pohon yang jatuh namun memiliki suara yang begitu aneh dan ganjil.

Kreesss...terdengar bunyi ranting yang tanpa sengaja aku injak dan seketika itu aku langsung menjerit dan memundurkan langkahku ke belakang. Aku begitu khawatir dan ketakutan hanya karena suara ranting yang kuinjak.

Huft...aku menarik napas dalam dan membuangnya perlahan saat aku menyadari bahwa suara itu hanya suara ranting yang kuinjak. Dengan tangan bergetar, aku menghaspus bulir-bulir keringat yang memenuhi keningku.

"Sudah sejauh mana aku berjalan?" kataku sambil mengambil peta yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam tas selempangku yang terbuat dari kulit kayu. Sebagai peri berkemampuan menumbuhkan sesuatu, aku tak begitu kesulitan untuk membuat tas ini. Ya, tas ini aku buat sendiri sesaat sebelum aku melakukan perjalanan.

Perlahan aku membuka peta itu, namun aku tak dapat melihat apa pun yang ada di dalam peta. Kondisi hutan yang begitu gelap dan minim pencahayaan membuatku kesulitan untuk melihat peta yang ada di genggamanku.

"Butuh bantuan?" terdengar suara seseorang dari belakangku dan seketika aku terperanjat serta menjauh dari suara itu berasal.

Dengan tubuh yang masih bergetar, aku memberanikan diri menatap pada sebuah cahaya yang hanya berjarak sekitar lima meter dariku. Aku melihat ada peri lain yang sedang memagang bola cahaya berkilauan di tangannya.

Bola cahaya adalah sebuah bola yang di miliki oleh semua peri. Bola itu dapat memberikan penerangan pada kami saat malam tiba, tapi sayang aku tak memikikinya. Aku hanya peri yang selalu di asingkan oleh kawananku hingga mereka tak pernah memberikan fasilitas yang sama kepadaku. Ya, bola peri adalah fasilitas yang diberikan kerajaan yang seharusnya dapat dinikmati semua rakyat, tapi itu tidak berlaku bagiku.

"Siapa di sana?" tanyaku dengan suara bergetar karena rasa takut.

Aku memang tahu jika yang berdiri di sana itu adalah seorang peri, bukan naga. Tapi aku begitu takut jika dia akan menyakitu atau dia merupakan salah satu peri jahat yang tidak menyukaiku.

"Tenanglah By, ini aku, Elsie," kata peri itu yang ternyata adalah Elsie.

Dia berjalan ke arahku dengan sangat perlahan dan begitu hati-hati. Sepertinya dia begitu takut akan membuatku takut dan kembali berteriak hingga suaraku akan membangunkan makhluk apa pun yang ada di dalam hutan yang gelap ini.

Dari jarak beberapa meter, aku mulai mengenali peri itu, dan itu memang Elsie. Rambut hitamnya kini tergerai indah, tidak di ikat seperti biasanya. Dia terlihat cantik, tapi juga sedikit terlihat aneh.

"Elsie...," kataku dengan terkejut dan sambil mengerutkan keningku.

Aku masih tak percaya bagaimana Elsie berada di hutan ini sedang saat aku pergi, tak ada siapa pun yang mengetahuinya? Ya, aku pergi di saat fajar belum keluar dari peraduannya hingga peri-peri lain masih tertidur lelap dan dibuai dalam mimpi. Kami para peri memiliki kebiasaan baru bangun saat sinar mentari menerpa wajah kami, tapi itu tidak berlaku bagiku.

Aku adalah peri yang bisa di anggap terbuang dan hidup di atas tanah, bukan di atas pohon seperti yang lainnya. Cahaya matahari akan terlambat sampai ke rumahku karena cahayanya tertutup oleh bayangan ranting pohon dan rumah peri lainnya. Dan jika aku terlambat bangun, maka aku akan di anggap sebagai peri pemalas. Hal itulah yang memaksaku selalu bangung tepat sebelum mentari keluar dari peraduannya.

"Sedang apa kau di sini?" tanyaku masih dengan wajah yang cukup terkejut dengan kehadiran Elsie.

"Ah...tadi aku kebetulan melihatmu berjalan sendiri," jawab Elsie.

Lagi, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang Elsie sembunyikan dariku, tapi aku tak tahu apa itu dan aku pun tak mungkin bertanya padanya. Bukan tak berani, tapi karena Elsie pasti akan menyangkalnya.

"Dan kau mengikutiku?" tanyaku menelisik.

"Aku khawatir padamu By, aku takut kenapa-nala apalagi kamu masuk hutan teelarang," kata Elsie dan aku kembali mengerutkan kening bingung.

"Aku kan temanmu," kata Elsie pada akhirnya.

Teman, ah...aku baru ingat kejadian di padang rumput tempo hari saat aku bertemu dengannya dan dia meminta untuk dapat menjadi temanku. Saat itu aku mengiyakannya karena aku merasa dia memang teman Ataska, tapi ternyata Ataska tak mengenalnya.

"Pergikah Els, biarkan aku melakukan perjalananku sendiri!" kataku sambil berbalik dan melangkah menjauh dari Elsie.

Ya, aku memang tak ingin ditemani oleh siapa pun dalam perjalanan ini. Semua karena ini adalah pembuktian jati diriku yang sesungguhnya. Dan aku tak mau orang lain mengetahui siapa diriku yang sesungguhnya.

"Tapi By...," kata Elsie yang telah berada di sampingku dan menyeimbangkan langkahnya denganku.

"Pergi Els!" kataku dengan sedikit membentak Elsie.

"Tapi By, bagaimana kamu akan melalui Hutan terlarang ini tanpa adanya cahaya sesikit pun?" tanya Elsie yang berhasil membuatku terdiam.

Kata-kata Elsie berhasil membuatku terdiam tanpa sepatah kata pun. Ya, hutan ini begitu gelap dan tak ada cahaya sedikit pun. Dan aku tak memiliki bola cahaya hingga aku akan kesulitan untuk menentukan arah dan melihat peta tanpa adanya perangan.

Aku menghembuskan nafas kasar saat menyadari semuanya. Aku tak dapat menolak permintaan Elsie walau sesungguhnya aku sangat ingin melakukan itu.

"Baiklah kau boleh ikut," kataku sambil menghembuskan napas kesal.

Aku melangkahkan kakiku tanpa menunggu Elsie yang masih menyesuaikan diri untuk dapat berjalan dengab kakinya. Aku memakluminya karena dia terbiasa menggunakan sayapnya dalam setiap aktivitasnya.

"By...tunggu aku," kata Elsie sedikit berteriak karena tertinggal cukup jauh dariku.

Aku mendengus kesal dan berbalik menatap Elsie yang tepaut jarak 10 meter dariku. Dia terlihat sedang bersusah payah untuk melangkahkan kakinya dan menjaga keseimbangannya.

"Jalannya pelan-pelan, By," pinta Elsie setelah berada di hadapanku.

Aku tak menjawab perkataannya, aku terus berjalan tanpa memberi kesempat pada Elsie untuk beristirahat. Kejam memang, tapi aku melakukan semua ini agar dia menyerah dan kembali.

"Ini tidak mungkin," kataku sambik menatap lurus ke depan. Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat.

The Missing Of RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang