5. Ikrar Setia

758 64 40
                                    

Malam itu, untuk pertama kalinya, Sadhana tidak dapat tidur nyenyak.

Bukan karena biasanya ia tidur di atas kasur kapuk empuk sedangkan malam ini ia terpaksa tidur dalam tenda berlapis tikar tipis di tanah keras. Sama sekali bukan. Ia bukan pangeran manja.

Sadhana sulit tidur karena jantungnya belum netral juga selepas bertemu Sang Dewi. Otak, juga matanya jadi agak konslet. Ia merasa melihat Sang Dewi di mana-mana, sedang tersenyum kepadanya.

Ih, halu banget gak sih, Si Sadhana? Perasaan tadi Sang Dewi itu bukan tersenyum, melainkan menertawakannya!

+++

"Duh, siapa ya nama Dewi itu?" Sadhana berguman dalam lamunan.

"Cantiiiiiiiik, sekali!" Sadhana tersenyum sendiri membayangkan Sang Dewi.

"Belum pernah aku bertemu gadis secantik dia! Aku ingin ... bertemu lagi dengannya," lanjutnya setengah tak sadar.

"Aku merasa ... apa ya, namanya? Rindu ataukah jatuh cinta?"

Sebersit perasaan asing mulai menyusup di hati Sadhana. Ia sibuk berharap dan menerka-nerka, gadis itukah yang akan menjadi takdirnya?

Saat dihantam perasaan asing ini, logika dan segala kepintaran Sadhana yang di atas rata-rata seolah terkunci. Ia sama sekali tidak merasa ada yang aneh dengan gadis yang ditemuinya tadi.

Memangnya ada, gadis beneran yang bakal diizinkan keluyuran sore-sore ke tengah hutan sendirian untuk mandi?

Otak Sadhana menyangkal. Dulu juga Bunda Ratu berkeliaran sendiri cari kayu bakar di tengah hutan sehingga bertemu Kajeng Romo. Tapi kan ya, gak mo maghrib gitu!?

Terus apa tidak Sadhana perhatikan, bahwa gadis tadi sebetulnya terlalu cantik? Kecantikan dan segala tindak-tanduk gadis itu nyaris tidak manusiawi!

Lah, memangnya kecantikan yang manusiawi itu yang bagaimana? Mana kutahu, soalnya kan baru pertama kali ini aku bertemu secara pribadi dengan seorang perempuan selain Bunda Ratu dan Eyang Ibu Suri.

Dayang-dayang gak masuk hitungan loh! Mereka selalu datang bergerombol dengan wajah yang tampak nyaris sama(?).

Otak Sadhana lagi-lagi berusaha mengeluarkan sanggahan yang menurutnya masuk akal.

+++

Demikianlah, sepanjang malam Raden Sadhana sibuk berpikir sambil menghayal. Tahu-tahu pagi telah hampir menjelang....

"Aduh gawat!" ucapnya sambil menepok jidat, "aku belum tidur! Tar kalau mataku kayak panda dan tampangku jadi jelek pas ketemu Dewi, gimana?" lanjutnya gusar.

"Aduh gawat kuadrat!!" Sadhana menepok jidatnya lagi dua kali.

"Semalam aku ngapain aja sih, kok malah belum mikir, kalau nanti ketemu Dewi lagi, aku harus ngomong apa?

Masa' aku langsung nembak: maukah dikau jadi anu-ku, gitu?"

"Aduuuh, kan malu!" Pipi Sadhana bersemu merah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang bebas ketombe dan tidak gatal untuk mengurangi resahnya.

"Ya sudahlah, dipikir karo mlaku!"

"Mending aku berangkat ke telaga sekarang saja daripada telat bertemu Sang Dewi. Biarin deh, aku yang nunggu tanpa batas waktu...."

Pengantin PadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang