Bab I

451 50 25
                                    

Pertemuan ini bukannya tak disengaja, hanya tak pernah kita duga.

🍃🍃🍃

Sebuah tinju melayang ke arah cermin di hadapan Galung, membuat benda itu pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang berhamburan di lantai. Darah ikut mengalir dari tangannya yang mengepal.

Galung tersenyum puas. Ia membasuh wajah, lalu bercermin pada kaca yang tak lagi utuh tersebut. Tak tampak wajahnya di sana sehingga memunculkan sebersit rasa lega karena tak harus melihat wajah pecundang yang ia benci. Ia tak peduli meski cairan merah masih mengaliri jemarinya.

Galung tetap tersenyum puas.

"Lung! Ayo balik!" panggil Andro dari luar kamar mandi.

Galung tak menjawab. Ia hanya menyeka darah di tangannya kemudian keluar tanpa berkata atau menunjukkan ekspresi apa pun.

"Udah lega?" tanya Andro begitu Galung muncul.

"Apa?" tanya Galung balik dengan malas.

"Lupain, deh," jawab Andro akhirnya. Ia tahu bagaimana watak sahabatnya itu dan tidak berminat untuk memperpanjang masalah. "Aku harus ke toko ibuku dulu sebelum pulang. Kamu mau ikut?"

"Nggak. Kamu duluan aja." Galung sedang ingin sendirian sekarang. Ia senang tak perlu mencari alasan untuk meminta Andro meninggalkannya.

"Ya, udah. Kalau gitu aku duluan," pamit Andro pada Galung yang hanya menjawab dengan sebuah anggukan.

Andro akhirnya berbelok menuju tempat parkir, sementara Galung terus berjalan menyusuri koridor sekolah. Hal yang jauh di luar kebiasaannya. Ia tak tahu pasti, apa yang membuatnya ingin terus melangkah dan bukannya segera pulang. Mungkin kekalahan tim basketnya tadi siang atau mungkin kekesalannya pada diri sendiri. Ia tak tahu. Galung hanya tahu jika ia benci dengan kegagalan.

Tiba-tiba, sebuah kejadian tak terduga menghentikan langkah Galung. Sepotong kue penuh krim melayang ke arahnya. Tepat mengenai wajahnya.

Emosi Galung seketika memuncak. Ia terpaku di tempatnya berdiri sembari melihat sekeliling, mencari sumber datangnya kue sialan yang sekarang membuatnya tampak seperti badut. Siapa pun orang yang melakukannya, pasti akan menyesal karena sudah mencari masalah dengan Galung.

***

Diandra menyambar kotak tisu yang ada di hadapannya, kemudian berlari mendatangi seorang pemuda yang wajahnya belepotan krim. Pemuda itu tampak sangat marah. Namun, bagaimanapun juga Diandra harus menghadapinya karena dialah yang bertanggung jawab atas kue yang sekarang sudah mengotori wajah pemuda itu.

"Maaf, maaf. Aku benar-benar nggak sengaja." Tanpa menunggu, Diandra segera membersihkan wajah Galung. Bahkan sebelum pemuda itu sempat memarahinya.

"Hei, apa-apaan ini?" Galung bertanya dengan marah. Tindakan Diandra membuatnya terkejut. Ia memegangi tangan gadis itu dan menatapnya tajam. Lebih tepatnya kejam. "Jadi, kamu yang melempar kue ini?"

"Iya, maaf. Aku nggak sengaja. Sungguh." Akan tetapi, Diandra yang harusnya takut itu malah tersenyum tanpa dosa, seperti menganggap tindakannya terhadap Galung hanya lelucon. "Aneh, ya? Kok, bisa, kuenya mengenaimu? Pasti kamu tadi nggak tahu kalau ada kue yang terbang mengarah padamu."

Tatapan Galung pada Diandra semakin sengit. Bisa-bisanya gadis itu malah menyalahkannya juga. Ia sama sekali tidak berhak sekali pun sudah meminta maaf atas perbuatannya pada Galung.

"Cerewet, memangnya kamu siapa?"

"Oh, iya. Kita memang nggak saling kenal. Aku lupa. Tapi sudahlah. Lepasin tanganku supaya aku bisa membersihkan wajah kamu. Anggap saja ini bagian dari permintaan maaf," pinta Diandra.

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang