BAB X

143 17 9
                                    

Cinta harusnya laksana air yang mengalir melintasi sungai. Terkadang ia berjumpa bebatuan, tetapi tetap teguh menuju tujuan.

🍃🍃🍃

Lapangan basket sekolah begitu ramai. Tengah berlangsung pertandingan persahabatan antar kelas. Hampir seluruh siswa dan siswi memenuhi pinggir lapangan untuk melihat tim jagoan mereka beraksi.

Anjani tengah bersama beberapa teman perempuannya duduk di salah satu sudut lapangan. Mereka berteriak penuh semangat sembari menyerukan nama-nama pemain andalan mereka. Begitupun penonton yang lain.

Nama yang paling banyak terdengar adalah nama Galung dan Lando, dua pemain handal yang kebetulan berada pada kelas yang sama, tim yang sama.

Namun, tak semua berteriak penuh euforia. Seorang gadis tengah berdiri di deretan belakang penonton lain. Diandra, gadis itu, berusaha melihat jalannya pertandingan yang tengah berlangsung. Pertandingan antara kelas Galung dan kelas Anjani. Akan tetapi, tubuh mungilnya tak banyak membantu. Ia justru tenggelam di antara barisan sesak teman-temannya.

"Di, kita pindah ke sana saja, yuk! Di sini nggak kelihatan sama sekali," ajak Fifi. Ia dan Diandra sedari tadi sibuk mencari tempat yang tepat untuk melihat pertandingan, tetapi belum juga membuahkan hasil.

Diandra melihat Anjani dan beberapa temannya di deretan depan yang ditunjuk Fifi. Ia pun mengiyakan dan berjalan menuju tempat tersebut. Ia sengaja tak menegur Anjani yang tengah asyik dengan kelompoknya. Ia hanya diam di belakang mereka bersama Fifi.

"Nah, kalau di sini, kan, kelihatan. Lumayan, meski nggak dapat pemandangan VIP," ujar Fifi lega. Keduanya lalu larut dalam jalannya pertandingan.

Poin sementara diungguli oleh kelas Galung yang memang tersohor sebagai kelasnya para pemain basket handal. Poin-poin tersebut kebanyakan berasal dari tangan dingin Galung.

"Galung! Galung! Galung!"

Anjani dan teman-temannya berseru dengan penuh semangat. Terlebih saat Galung kembali mendulang poin.

Kalau boleh jujur, Diandra juga ingin melakukannya. Mengelu-elukan nama Galung dan menyemangatinya. Namun, ia selalu takut semua orang akan mengarahkan pandangan aneh jika ia nekad melakukan hal tersebut. Mereka tidak tahu tentang hubungan Diandra dan Galung. Ia juga tidak berniat untuk memberitahu. Baginya mengagumi sosok Galung seperti sekarang saja sudah cukup membahagiakan.

Tambahan poin kembali didapat dari aksi memukau Galung melempar bola ke ring. Suara gemuruh kegembiraan kembali terdengar dari deretan para gadis, termasuk Anjani dan teman-temannya.

Tepat pada saat itu Galung menoleh ke arah Diandra. Pemuda itu lalu tersenyum padanya. Bulir-bulir keringat yang membasahi tubuh Galung, terpapar sinar matahari. Ia berkilau, membuatnya terlihat semakin tampan.

Diandra sadar bahwa senyuman itu ditujukan untuknya. Hatinya merasa hangat. Lalu ia pun balas tersenyum.

"Dia tersenyum padaku," celetuk salah satu teman Anjani. Posisinya memang berada tepat di depan Diandra.

"Tidak. Dia tersenyum padaku,” timpal temannya yang lain.
Lalu dengan sekejap hampir setiap gadis yang berada di sekitar Diandra mengakui senyuman Galung ditujukan untuk mereka.

Keributan kecil yang tak penting itu membuat beberapa momen pertandingan terlewatkan. Tahu-tahu wasit meniup peluit sebagai tanda berakhirnya pertandingan. Sementara debat sia-sia para gadis tadi justru belum berakhir.

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang