Bab II

233 34 5
                                    

Tak peduli rintik hujan atau terik kemarau. Karena hati yang tengah jatuh cinta hanya mengenal satu musim. Bahagia.

🍃🍃🍃

Dia lagi? Sebenarnya sedang apa dia?

Galung tengah menikmati semilir angin di balkon kelasnya sembari memandangi bukit hijau yang melatarbelakangi sekolah, ketika tampak sosok Diandra meninggalkan sekolah dengan gelagat yang sedikit aneh.

Sudah yang ketiga kalinya Galung melihat Diandra melakukan hal serupa. Berjalan ke pintu samping sekolah sembari mengawasi sekitar, seolah tidak ingin ada yang mengetahui tingkahnya. Melihat hal tersebut Galung jadi penasaran. Tanpa sadar ia segera berlari turun, mengikuti langkah Diandra secara diam-diam.

Diandra berjalan keluar lewat pintu samping sekolah dengan mudah, seolah apa yang ia lakukan sekarang -mengendap-endap keluar ketika masih jam sekolah- adalah rutinitasnya. Di tangan gadis itu terjinjing sebuah sketch book. Galung yang masih penasaran terus mengikuti Diandra hingga mereka akhirnya tiba di bukit belakang sekolah.

Bukit belakang sekolah Galung adalah sebuah bukit kecil yang masih menghijau oleh pepohonan rindang. Ia baru tahu jika ada satu tempat lapang yang tidak begitu luas di bukit tersebut. Dua pohon Flamboyan tumbuh berjajar dan menaungi tempat itu dengan dahan-dahannya yang menjuntai. Rerumputan juga tumbuh subur di sana, sehingga terlihat seperti permadani yang empuk untuk disinggahi. Tempat itu juga tepat menghadap sekolah. Galung bisa melihatnya dengan jelas dari sana.

Diandra masih tidak sadar jika seseorang mengikutinya. Ia segera menuju salah satu pohon Flamboyan, lalu duduk di bawah naungan salah satu dahan dan mulai menggerakkan jemarinya di atas sketch book.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Galung, mengejutkan Diandra yang ternyata sedang asyik menggambar sesuatu.

"Menggambar, seperti yang sedang kamu lihat," jawab Diandra polos. Ia tidak terlalu terkejut dengan kehadiran Galung, meski sebenarnya ia baru tahu pemuda itu ada di belakangnya.

Galung sendiri tidak heran. Tampaknya Diandra memang bukan gadis yang terlalu memperdulikan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Ia lalu melihat sketsa gambar yang dibuat Diandra dan tersenyum kecil, tidak menyangka hasil goresan tangan gadis itu ternyata lumayan bagus.

"Sketsa kamu bagus juga," puji Galung.

"Terima kasih," balas Diandra singkat lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Tampak tak begitu tertarik dengan kehadiran Galung.

Tidak ingin menunjukkan rasa penasarannya, Galung memilih duduk di pohon Flamboyan satunya, berjarak empat meter dari Diandra. Menunggu gadis itu berbicara atau sekadar bertanya alasan Galung mengikutinya.

Sayangnya, tak terjadi apa pun. Diandra tetap sibuk dengan sketsanya, tak mengacuhkan pemuda yang tak ia ketahui tengah menunggunya berbicara.

"Namamu Diandra, kan?" tanya Galung akhirnya, menyerah pada keadaan. Sepertinya ia yang harus memulai atau tidak akan ada percakapan sama sekali.

"Iya, kenapa?"

"Apa kamu tidak ingat padaku?"

Tanpa menoleh dari sketsanya Diandra segera menggeleng, membuat Galung jengkel dengan hal tersebut. Mungkin ini terdengar sedikit konyol, tetapi Galung tidak pernah merasa sejengkel ini ketika seseorang tidak bisa mengingatnya dengan mudah. Dan, kali ini yang membuatnya merasa seperti itu justru seorang gadis. Gadis aneh yang membuatnya penasaran sejak pertemuan pertama.

Menyebalkan. Galung merasa dipermainkan. Harga dirinya sedang dipertaruhkan sekarang. Lucunya, semua itu hanya karena Diandra tidak ingat padanya. Sejujurnya tidak jadi masalah jika saja Galung bisa melakukan hal yang sama. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Galung bisa dengan mudah mengingat nama dan wajah gadis itu.

"Kamu tahu Galung?" Galung berusaha mencari obrolan yang tepat untuk memuaskan rasa penasarannya, tanpa harus mengakui secara terang-terangan.

"Sering dengar teman-temanku membicarakan dia, tapi belum pernah bertemu langsung dengan orangnya. Memangnya kenapa?" tanya Diandra balik, masih tidak beralih dari buku sketsanya.

"Pernah, bukannya kamu sudah melempari wajahnya dengan kue?" ujar Galung sembari menahan rasa kesal. Gadis di hadapannya itu benar-benar menguji kesabaran.

Diandra terdiam lalu menoleh ke arah Galung yang sedang menatapnya tajam. Dengan seutas senyum tanpa dosa, Diandra mengulurkan tangan pada Galung begitu menyadari bahwa pemuda di dekatnya tersebut adalah orang yang sedang mereka bicarakan.

"Maafkan aku. Pasti kamu yang bernama Galung, ya? Aku nggak tahu. Sungguh."

Galung bergeming, tak mau menerima uluran tangan Diandra.

"Aneh sekali rasanya ketika ada orang yang tidak tahu tentangku di sekolah ini."

Galung tak bermaksud untuk sombong. Namun, mengingat gadis-gadis yang selalu mengejarnya dan sangat berharap menjadi kekasihnya, pernyataan barusan tidak bisa dibilang berlebihan.

Diandra hanya tersenyum, kemudian melihat Galung sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatannya menggambar.

"Tidak aneh, kok. Mungkin karena aku lebih suka berada di sini daripada bergosip dengan teman-temanku."

Bagus, batin Galung. Diandra memberi kesan yang baik padanya. Gadis itu tak berteriak-teriak tidak jelas, memandanginya berlebihan atau memakinya habis-habisan ketika mereka berdua bertemu. Gadis itu juga tidak suka bergosip, membicarakan orang lain seenaknya sendiri. Setidaknya dua hal itu cukup untuk membuat Galung yakin bahwa ia tidak akan terganggu dengan Diandra. Walau pun harus ia akui jika menunggu Diandra mengenalinya sangatlah menguji kesabaran

"Tempat ini bagus juga, suasananya juga nyaman," komentar Galung seraya merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Ia jadi berpikir untuk menjadikan tempat ini tempat pelarian yang bagus jika sedang bosan di rumah. Bukan rahasia umum jika kota Malang yang ia tinggali sekarang terkenal sebagai daerah dataran tinggi dengan udara yang sejuk. Sangat tepat sebagai tempat peristirahatan. Namun, di bukit itu, Galung merasakan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang mengalirkan kedamaian dalam hatinya.

"Benar. Tapi sebaiknya kita segera kembali ke sekolah jika tidak ingin terlambat," jawab Diandra. Ia bangkit dan bermaksud pergi karena waktu istirahatnya hampir habis. Akan tetapi, Galung bergeming. Ia justru memejamkan mata dan menikmati semilir angin sejuk yang menyentuh tubuhnya. "Ya sudah, aku duluan," pamit Diandra. Ia bergegas, meninggalkan Galung yang mulai terlena oleh tidurnya.

***
Halo!

Part ini pendek banget kayanya, ya? Tapi semoga kalian suka 😁😁😁

Always,
Salam Baca 😉
SukiGaHana

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang