Bab IV

170 26 6
                                    

Menuju hatimu memang sulit, tetapi aku tahu jalan rahasia menuju ke sana. Melalui cinta.

🍃🍃🍃

Pohon Flamboyan tempat bernaung Diandra bergerak lembut mengikuti irama angin yang melintas. Terik matahari siang tengah memancar dengan tegas. Namun, cahaya tersebut hanya mampu menyusup di antara dahan-dahan yang saling merapat. Diandra duduk sembari menghadap sebuah buku. Akan tetapi, gadis itu tidak sedang menggambar seperti yang selalu dilakukannya. Ia sedang membaca.

"Ternyata kamu sudah di sini."

Galung yang baru tiba segera mengambil tempat di pohon Flamboyan sebelah Diandra. Namun, ia mengurungkan niat ketika melihat Diandra tidak sedang menggambar seperti biasa. Gadis itu sedang membaca. Ia lalu duduk di samping Diandra, mencoba mengintip apa yang tengah dibaca gadis itu.

"Biasanya kamu langsung tidur," ujar Diandra yang ternyata menyadari gerak gerik Galung. Mereka memang sudah sering menghabiskan waktu berdua di sana, meski sebenarnya tidak benar-benar bersama. Keduanya lebih sering sibuk sendiri meski hanya terpisahkan jarak sejauh empat meter.

"Pohon itu kurang rindang, jadi cahaya matahari masih bisa masuk. Aku tidak bisa tidur karena silau," jawab Galung beralasan. Sedetik kemudian ia menyadari jika ia tidak perlu mengarang alasan. Namun, entah kenapa ia tidak menyesal sudah melakukannya. Karena dengan begitu ia bisa berbicara lebih banyak pada Diandra.

Hanya kata 'oh' yang menjadi reaksi Diandra.

"Kamu sedang membaca? Tumben?" tanya Galung. Mencoba membuka percakapan.

"Hanya ingin membaca. Kebetulan aku juga ada tugas untuk meresensi buku."

Diandra menjawab tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari buku di hadapannya. Tampaknya ia sangat tertarik dengan isi buku tersebut.

"Buku apa, sih?" Galung menyibak halaman pertama buku tersebut tanpa meminta izin terlebih dulu. Bukan kebiasaannya bersikap lancang seperti itu. Ia hanya penasaran akan judul buku tersebut. Awalnya tindakannya itu membuat Diandra sedikit tidak suka. "A Little House on The Prairie. Kamu suka baca buku ini, ya? Aku punya serinya. Lengkap. Milik ibuku, sih, sebenarnya."
Wajah Diandra seketika berseri-seri mendengar ucapan Galung. Ia menoleh pada pemuda itu dan menanyainya penuh semangat.

"Benarkah? Boleh aku pinjam? Aku hanya punya buku pertama dan kedua."

Seperti ada yang menjalari tubuhnya dengan perasaan gembira ketika Diandra menatap Galung. Mata gadis itu berkilat-kilat. Wajahnya penuh rona bahagia. Dan, itu hanya karena sebuah buku. Galung tanpa sadar tersenyum, bersyukur karena sudah mengatakan tentang buku itu.

"Tentu. Besok akan aku bawakan untukmu," jawab Galung.

"Terima kasih banyak. Kamu memang teman yang baik," ujar Diandra. Kegembiraan masih terpancar dari wajahnya, memaksa Galung tak berhenti memandang gadis itu. Menelusuri lekuk wajah, mata, hidung dan bibirnya. Menyadari bahwa gadis berkacamata di hadapannya itu begitu ... cantik.

Ah, ini benar-benar di luar kebiasannya. Galung tak pernah suka didekati para gadis. Ia membencinya. Bagi Galung mereka hanya makhluk bersuara nyaring yang banyak maunya dan susah ditebak. Namun, senyuman Diandra memiliki gravitasi yang terus menarik Galung untuk tetap berada di sana.

Galung harus mengakui jika ia menikmati semua itu. Perasaannya pun menghangat.

Apakah ia jatuh cinta?

***

Ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu terlihat masih sama. Gelap dan berdebu. Galung mengingat-ingat terakhir kali ia masuk ke tempat itu. Lima tahun yang lalu, saat ibunya masih hidup. Saat ia masih suka membaca dan mengoleksi banyak buku, kebiasaan yang diturunkan sang ibu.

Angin Padang Rumput (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang