senja 1

54 9 17
                                    

"Bukankah cinta adalah Milik-Nya ...?"


"Di sini gudangnya, jadi kalau Alish ngambil barang bisa minta Mang Aceng saja." Aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasan Teh Marni. Kami pun beranjak ke ruko alias rumah toko.

Jarak antara ruko dan gudangnya kurang lebih 100 meter. Bisa di bilang ruko ini berjejer sepanjang kanan kiri jalan. Letak gudangnya memang agak jauh. Bahkan harus melewati jalan besar, di apit oleh beberapa ruko lainnya yang masih tutup. Rukonya sendiri berlantai 3. Lantai 1 untuk administrasi, lantai 2 gudang atau lebih tepatnya menyimpan kain jika gudang penuh muatan dan lantai terakhir di biarkan kosong.

Paling menyedihkan adalah tak ada tempat untuk sembahyang. Mesjid pun tak ada. Jadi jika waktu sembahyang tiba, mereka pergi ke lantai 2 dan menggelar sajadah seadanya di atas koran bekas. Bahkan berhadapan dengan patung. Kepercayaan orang Tionghoa. Entah patung apa.

Seharian ini aku hanya mendengarkan instruksi Teh Marni. Bisa di bilang, aku hanya pegawai sementara. Menggantikan Teh Marni yang sebentar lagi cuti untuk menikah. Jujur saja aku belum terbiasa bekerja di ruko bahan kain. Melihatnya pun membuatku terpana.

Ohh iya, namaku Alisha Lutfiana. Ini bukanlah pekerjaanku yang pertama. Namun bekerja di ruko adalah yang pertama bagiku. Dua hari yang lalu, aku mengikuti wawancara. Esoknya langsung dapat panggilan kerja. Agak aneh memang. Soalnya rentan waktunya sangat cepat. Ku simpulkan, mereka sangat membutuhkan orang. Ternyata benar dugaanku.

"Mar, bawa sisa kain brukat putih ke sini, dan ajari anak baru." Pinta Pak Charlie tanpa melihat Teh Marni. Kami pun balik sekali lagi ke tempat gudang itu sambil membawa troli besar. Aku mengekor Teh Marni di belakangnya.

"Ngga usah gugup ya ... Pak Charlie emang begitu. Pengennya serba cekatan, tapi ngegaji karyawan ja pelitnya minta ampun." Keluh seseorang disampingku. Sejenak aku bingung mendengarnya tiba-tiba berbicara seperti itu. Terlebih masalah sensitif, apalagi kalau bukan 'uang'.

"Hushh ... jangan ngomong gitu dong ke anak baru. Bisa-bisa ngga betah kerjanya." Kesal Teh Marni sambil menoleh ke belakang. Ia pun berjalan di samping kiriku.

"Oh iya, itu Mang Aceng. Dah lama kerja di sini, hampir 10 tahunlah. Sebelumnya Mang Aceng ikut ibunya Pak Charlie. Aku baru 6 tahunan." Lanjutnya, aku hanya meng-oh-kan saja mendengarnya.

Mang Aceng menganggukkan kepala, aku pun membalasnya dengan anggukkan serupa. Bersalaman pun tak bisa karna kedua tangan Mang Aceng membawa troli beserta beberapa kain berwarna kuning bunga-bunga.

"Lama juga ya Teh. Kok pada betah sih?" Tanyaku heran.

"Kumaha deui, bakat sih. Bakat ku butuh. Komo abdi mah ti bujang neupikeun tos gaduh dua budak jadi dedengkot kaluargana Pak Charlie. Kabeh oge emang ku bakat."
"Gimana lagi, kebutuhan sih. Apalagi saya semenjak muda sampai memiliki dua anak jadi bawahan keluarganya Pak Charlie. Semua juga karena kebutuhan."

"Tos ahh ... tong ngagosip wae. Burukeun buka pintu na ."
"Sudah ahh... jangan ngegosip saja. Cepat buruan buka pintunya."

Mang Aceng dengan cekatan membuka gembok dan mengeluarkan rantai besi besar, di buka selot besi dari atas pintu. Rolling door bagian kanan terbuka dan di geser ke belakang. Kami pun memasuki lagi ruangan gelap dan pengap ini.

"Alish, kain brukat putih ada di bawah, di keluarin dulu kain satinnya." Pinta Teh Marni sambil menunjuk kiri ruangan. Aku pun berjalan ke arah yang di tunjukinya.

Oh My God ... ngeluarin kain satin sebanyak ini? Bertumpuk-tumpuk rol besar kain satin seragam warnanya dan berat puluhan kilo membuatku kelelahan memindahkannya.
Ini sih kerjaan kuli ... mana mereka ngga bantuin lagi, rutukku sebal.

Sayup-sayup ku dengar mereka membicarakan seseorang, bahkan tak melihatku yang kesulitan.
"Si pika pasti ngedugem lagi. Mangkanya telat." Sebal Mang Aceng.

Pika ... siapa? heran mendengar pembicaraan mereka di sela-sela mendirikan kain satin seberat 57 kg di dinding itu.

"Paling macet." Teh Marni berusaha membela Si Pika.

"Alasan ... dia paling telat datang tapi paling banyak gajinya. Si bos pilih kasih."

"Mau gimana lagi, kan dia yang nyales ke berbagai tempat. Wajar kalau di andelin. Coba saja !amg Aceng yang gantiin dia. Sanggup ngga?" Tantang Teh Marni.

Mang Aceng hanya mendengus kesal, ia melihatku tapi tak sekalipun berniat membantuku.
"Alish, nanti kalau ketemu si pika jangan jatuh cinta ya ..."

"Hahhh?!" Jawabku bingung, tak mengerti arah pembicarannya.

"Iya, jangan suka sama si pika. Dia playboy cap kabel." Sambung Teh Marni.

Aku tak acuhkan mereka, meski penasaran dengan sosok si Pika. Emang sekeren apa sampai harus jatuh cinta segala? Ku putar bola mataku dengan sebal. Ku geser kain satin sebelum mengangkatnya perlahan.

"Apanya yang jatuh cinta?" Terdengar suara asing sedikit serak menghampiri mereka. Kontan aku melihat ke sumber suara. Teh Marni hanya tertawa riang dan Mang Irfan menyalaminya begitu ia tiba.

Sedetik kemudian aku terpana melihatnya. Sosoknya yang tinggi sekitar 170 cm, berkulit putih, tampan, berkemeja di setrika rapi, memakai jeans biru tua, dan sepatu mengkilat dengan penuh percaya diri tersenyum ke arah mereka. Dia mirip artis model pikirku takjub.

Dia menoleh ke arahku, Teh Marni dan Mang Aceng pun melihatku. Di lihat seperti itu membuatku malu, ku buang muka dan fokus bekerja menggeser kain. Wajahku terasa panas, dan mulai gugup tak beralasan.

Dia masih melihatku dengan wajah penasaran, membuatku jengah dan salah tingkah ditatap sedemikian rupa. Perasaan campur aduk yang tak ku mengerti.

"Dia orang baru itu?" Tanyanya, matanya tak lepas melihatku. Mang Aceng yang tahu langsung mengalihkan perhatiannya.

"Ngedugem sampai jam berapa sampai telat gitu? Minum berapa gelas?" Tanyanya dengan sengaja.

"Biasa ... mau ikutan?" Tanyanya sengaja mengikuti alur Mang Aceng. Mendengar itu membuatku bergidik, aku ngga mau dekat-dekat dengannya, gumamku pelan.

"Aku bilang sama Alish, jangan sampai jatuh cinta sama kamu" Teh marni tertawa memancingnya.

"Ohhh... jadi namanya Alish" sambil berjalan ke arahku.

"Alisha Lutfiana ..." sambung Teh Marni.

Nama yang bagus, pikir si pika. Ia membantu mengangkat kain satin yang ku pegang. Menatapku sangat lekat sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Alisnya yang tebal rapi, hidungnya yang mancung dan bibir merah tipis membuatku membeku. Seolah tak bisa bernafas ketika wajahnya teramat dekat denganku. Jantungku berdebar tak karuan bahkan aku bisa mendengarnya. Takut ia juga mendengarnya aku mundur selangkah, tatapannya yang intens membuatku tak bisa mengalihkan pandangan ke bola matanya.

"Teh Marni benar, kau jangan suka padaku." Hahhh ... kesal bukan main di permainkan seperti itu. Dengan segala pesonanya dia menarikku dan perkataannya seenaknya dia langsung menghempaskanku? Apa-apaan dia ini, pikirku sebal.

Ku tantang dia dengan membalas tatapannya tanpa berkedip. Bukan ... bukan itu ... meski kesal entah kenapa aku tak bisa membencinya. Mukaku memerah seketika. Perasaan tak nyaman menghinggapiku. Masih dengan gugup, ku coba membuang muka ku. Melihatku yang bertingkah seperti itu membuatnya tersenyum puas penuh kemenangan.

Love Is ...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang