senja 2

39 5 0
                                    

"Cinta yang menuntunmu untuk berkasih sayang. Jika ia memiliki muara yang terarah pada cahaya-Nya, bara pun ia genggam seperti air."

Alunan Music Remix Martin Garrix feat Usher menghentak seluruh sudut ruangan, cahaya kerlap-kerlip menjadi cahaya satu-satunya di kegelapan nan exotic ini. Seorang wanita berparas cantik menikmati hinggar bingar sang DJ sambil meminum cocktail-nya dengan anggun. Sebelum meletakkannya ia melirik bartender di depannya dengan gusar. Entah mengapa malam ini membuatnya tak tenang. Berkali-kali ia menghela nafas berat. Gamang.

Sang Bartender menatapnya datar, ia memberikan sloky Martel Gordon Blue di hadapan wanita cantik itu. Tak disentuh bahkan dilirik pun tidak pemberian sang bartender, justru ia menatap lekat pria dihadapannya dengan penuh pengharapan. Respon sang bartender teramat dingin, ia memilih melanjutkan pekerjaannya daripada melayani wanita cantik itu.

"Hahhh ... kalau kau bisa memberikan ini, kenapa kau tak bisa memberikan maafmu padaku?" Wanita itu tersenyum kecut dan pergi meninggalkan tempatnya. Berbaur dengan semua orang yang menari sebebas merpati, hal itu mengundang laki-laki disampingnya dan mendekati wanita cantik itu.

Sang bartender melihatnya sekilas dan kembali meracik minumannya. Di samping kursi kosong yang ditinggalkan wanita tadi, duduk seorang pria botak sedikit gempal mengeluarkan asap cerutu dihidungnya mendengus sebal.

"Kau tak pernah berubah." Ucap pria botak itu ternyata mendengarkan apa yang diucapkan wanita cantik tadi. Sang bartender tak tertarik, ia melirik sebentar pria itu dengan acuh.

"Bukankah itu Bagus?" Tanyanya ketika melihat Bagus Artasuwirya membawa nampan berisi beberapa botol gin dan vodka di tangannya.

"Sudah besar rupanya. Lama aku tak kesini, hampir 10 tahun yang lalu. Dia mirip denganmu, tampan." Lanjutnya, sang bartender terdiam ketika mendengarnya.

"Buah tak jauh dari pohonnya. Ahh ... wirya!? Kau masih saja dingin kalau aku membicarakan anakmu. Itu membuatku kesal. Slalu saja menyimpan wajah innocent-mu itu. Apa hatimu se-innocent wajahmu? Aku masih penasaran akan hal itu, kau tahu?" Katanya dengan wajah sedikit memerah karena kesal.

"Kenapa kau kembali?" Ucapnya tak mennggublis perkatannya yang barusan, mata sipitnya tak mengalihkan dari glassware yang ia bersihkan.

"Sebenarnya bossnya itu aku atau kamu sih? Dan hai!? Kita dah berteman sejak lama, bahkan ekspresimu itu masih tetap sama, Huhh?! Cara penyambutan yang membosankan. Ngga heran kalau Sarah ......." ia tak menyelesaikan kalimatnya ketika melihat Bagus menghampiri mereka.

"Kapan paman datang?" Tanya Bagus sambil duduk disampingnya, nampan ia letakkan di meja depannya. Sang pria tersenyum dan langsung menepuk punggung bagus dengan bangga layaknya anak sendiri.

"Kemarin, sayangnya si cooleyes ini masih tetap acuh bukannya senang sahabatnya datang. Bosan aku melihatnya. Kudengar kau bekerja di toko kain. Apa disini kurang?"

Julukan sang bartender yang notabene ayahnya Bagus adalah cooleyes selain tatapannya yang tajam, sikapnya pun sedingin es sehingga banyak yang menjulukinya 'mata dingin' terlebih jarang tersenyum kepada siapapun termasuk anaknya sendiri.

Kebalikannya, Bagus mudah bergaul dengan siapapun. Wajahnya yang tampan turunan dari ayahnya yang berdarah campuran inggris-manado, sedangkan sifatnya mirip ibunya. Semenjak kecil Bagus tak mengetahui sosok ibu. Kalau pun bertanya pada ayahnya hanya dijawab dengan tatapan sendu. Pertama kalinya Bagus melihat sang ayah berekspresi seperti itu. Disanalah Bagus paham, membicarakan ibunya merupakan luka lama bagi ayahnya. Bagus kecil tak pernah memaksakan keingintahuannya, ia menunggu sang ayah berbicara padanya. Sampai saat itu tiba ia tak ingin membicarakan apapun tentang ibunya didepan ayahnya.

Love Is ...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang