Senja 4

23 2 0
                                    

"Cinta mempertemukan kita dengan seseorang yang selalu mendukungmu, selalu ada ketika lara, dan orang yang pertama tersenyum melihatmu bahagia."

Alisha bengong sejadinya. Antara heran, kaget, ga percaya dan senang sekaligus. Belanjaannya ia berikan pada Isma yang sudah menunggu kepulangannya.

"Hahaha... wajah bingung lo, lucu banget sih, lish hahaha." Tawa Rey sambil mengusap sebelah matanya yang berair.

"Jelas ja, soalnya ......"

"Baru chattingan, gue dah ada disini. Begitu, kan?"

Alisha hanya mendengus sebal, ia pun duduk disamping Renata. Melihat banyaknya makanan di meja, kontan membuat Alisha geleng-geleng kepala. Akbar menghiraukan Alisha yang memandangnya, ia menikmati makanan junkfood dengan teramat lahap.

"Sebenernya gue dah dari tadi disini, nungguin tuan putri yang pulang sore hari bukan tengah malam hehehe."

"Rey, becandanya berhenti, napa?"

"Habis, gue penasaran juga sama cerita lo barusan. Tumben-tumbennya lo chatting kaya gitu. Siapa sih namanya...... khenapha shihh."

Secepat kilat Alisha bungkam mulut Rey dengan tangan kanan, lalu ia tarik Rey ke kamar. Rey sebal. Kayak kambing yang di seret ke tempat pemancungan. Kenapa juga make tarik-tarikkan, segala? Begitu pikirnya. Akbar sempat bingung melihat kakaknya yang tak biasa. Tapi ia teruskan makan dan tak peduli.
Rey cemberut, pipinya menggembung tanda kesal.

"Sorry deh, habis kenapa ngomongin itu didepan adik aku sih?"

Rey memotar bola matanya dan melipat kedua tangan di dada penuh selidik.

"Ahhh... kenapa emangnya? Lo ngga mau adik lo tau kalau lo lagi di deketin cowo, begitu? Lahh? Kan wajar Lish?"

"Emang wajar, cuma aku ....."

"Malu?? Atau lo ngga mau adik lo jadi mikir macem-macem? Haduhhhh Lish?! Ini jaman apa? Sekarang kan bebas ngomongin hal itu. Lagian adik lo juga bisa belajar ngadepinnya kalau ada yang deketin mereka. Lo bisa jadi contohnya."

"Hahhhh... Rey, aku tau itu! Okay... okay... pasti kamu masih marah aku seret-seret. Maaf deh. Tapi bukan itu maksudku."

Alisha terdiam sejenak memikirkan kata yang tepat bagi sahabat satu-satunya. Rey dengan bosan berdiri menghampiri rak buku.

"Lo ngga berubah, padahal dunia terus berubah. Menempatkan masalah cowo harus pada tempat yang paling tepat. Terlalu pribadi buat lo, kan? Lalu kapan lo bisa bahagia kalau begitu?"

Alisha menatap Rey dengan sayu, ia tersenyum penuh arti. Dia selalu tau apa yang tersembunyi dalam pikiranku. Bahkan sebelum aku mengatakannya. Selalu... selalu begitu.

"Rey, aku sampai saat ini bahagia kok, punya adik-adik yang pengertian juga nurut. Punya temen kayak kamu yang paling ngerti banget. Mana mungkin aku ngga bahagia. Malah bersyukur, aku punya kalian."

Rey membalikkan badan menatap Alisha dengan lurus, ia merasa tersentuh dan mendekatinya lalu mendekapnya erat-erat. Alisha hanya tersenyum dan menepuk pundak Rey dengan sayang.

"Benar. Soal cowo ada tempat tersendiri yang aku pun ngga tau. Tak perlu di umbar kemana-mana. Cukup hal itu aku bagi ke kamu. Bukan adik-adik aku."

Rey melepaskan dekapannya dan menatap Alisha lamat-lamat.
"Lalu, kalau dia ngedeketin lo, apa lo ngehindar? Atau lo ngga nyoba buat nerima cinta yang datang itu?"

"Ya ampuun Rey... PDKT kan? Belum tentu dia suka kan? Siapa tau cuma temen doang. Lagian siapa yang tau isi hati orang lain sih? Aku ja belum tentu tau isi hati kamu."

Love Is ...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang