Chapter 17 : wali

37 5 1
                                    

Tunggu, aku berada di mana? Ini, rumah aku kan? Tapi kok, tampak sangat berbeda. Banyak foto figuran di dinding rumahku. Samar samar, aku mendengar suara anak kecil sedang berbicara. Suara itu terdengar, tepatnya di kamar dekat halaman belakang. Aku mengikuti suara pembicaraan itu.

Aku masuk lewat pintu, tapi kedua anak kecil yang tengah mengobrol tidak menoleh atau menyadari kehadiranku. Tunggu, aku ingat salah satu dari mereka. Dia bukan kah, aku? Anak itu, dia adalah aku saat kecil. Kenapa aku bisa melihat ini semua? Kenapa aku bisa melihat diriku sendiri saat kecil. Lalu, siapakah yang sedang berbicara dengan diriku?

"Kak vanessa, aku bisa bunuh orang!" Seru anak kecil di depan diriku sendiri sewaktu kecil.

"Tapi, bukankah tidak boleh membunuh orang?" Tanyaku yang tergambar masih kecil dengan raut wajah polos.

"Boleh saja jika kita mau. Lagi pula, membunuh orang itu sangat menyenangkan!" Ucap seorang gadis itu yang menyebut diriku dengan sebutan 'kakak'.

Anak yang sedang mengobrol dengan masa kecilku sangatlah mirip dengan ku. Atau, jangan jangan, dia saudara kembarku yang hilang entah kemana? Kalau benar, akhirnya aku bisa melihat wajahnya, walaupun dia masih kecil sama seperti diriku yang ku lihat sekarang.

"Jangan mengajak kakak mu untuk berperilaku aneh sepertimu!" Tiba tiba saja seorang pria bertubuh tinggi menggebrak pintu kamar.

Aku mengenal sesosok pria itu, dia adalah ayahku. Ayahku menarik gadis kecil itu, vanessa kecil menatap gadis itu dengan sedih.

"Ayah mau apain adik?" Tanya vanessa kecil, dia menahan tangan ayahku.

Ayahku tidak menjawab pertanyaan vanessa kecil, dia tetap membawa gadis kecil itu dengan kasar sampai ke ruang tengah. Aku mengikuti mereka sampai ke ruang tengah, ayahku melempar gadis itu dengan sembarangan.

"Saya malu punya anak sepertimu!" Ujar ayahku, dia menunjuk gadis kecil itu dengan telunjuknya.

"Ada apa lagi ini?" Tanya seorang perempuan yang tampak ku kenali, ia ibuku.

"Dia berulah lagi. Dia mengajak kakaknya untuk membunuh orang." Balas ayahku.

"Ibu menyesal telah melahirkan anak psikopat sepertimu! Kalau boleh memilih, lebih baik ibu tidak pernah punya anak, di banding punya anak psikopat sepertimu!" Ucap ibuku sambil menatap tajam ke arah gadis kecil, yang tidak lain adik ku sendiri.

"Ayah malu punya anak seperti kamu. Setiap hari ayah harus menutupi semua mayat yang telah kamu bunuh! Ayah sudah pusing membawa mu berobat agar sembuh dari penyakit psikopat. Tapi tetap saja, penyakit mu tidak berubah, tetap saja sama, kau tidak bisa menghilangkan penyakit itu. Ayah menyesal punya anak sepertimu!" Kata ayahku, setiap kalimat yang di ucapkan, terdapat tekanan.

Gadis yang tak lain adik ku itu menatap kedua orang tuaku dengan sorot tajam. Terlihat jelas, di mata adikku tergambar tatapan kebencian. Sedangkan vanessa kecil, yaitu diriku sendiri hanya menangis di pojokan ruang tengah. Tiba tiba saja adikku itu, lebih tepatnya saudara kembarku merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan pisau lipat.

"Mau apa kau?!" Tanya ayahku ketika melihat adikku bangkit dari tersungkurnya dan berjalan mendekati kedua orang tua ku.

"Mari kita bermain." Kata adikku sambil tersenyum menyeringai, ibuku bersembunyi di balik tubuh ayahku.

Adikku mendekati mereka, lalu dia menancapkan pisau lipatnya ke paha ayahku, ayahku mengerang kesakitan, lalu adikku menarik pisau yang dia tancapkan. Ayahku masih kesakitan sambil terus memegang pahanya yang terkena tusukkan. Sementara ibuku mundur beberapa karena merasa ketakutan.

Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Kenapa adikku begitu kejam? Psikopat? Dia memiliki penyakit itu? Kenapa aku tidak tahu? Dan kenapa aku tidak pernah mengingat kejadian ini sebelumnya?

Adik kembarku itu melemparkan pisau lipatnya tepat mengenai dada dan menembus jantung ibuku. Dada ibuku di penuhi darah yang mengalir, tubuh ibuku jatuh dengan segala darah yang mengalir di tubuhnya. Anehnya, adik kembarku itu justru malah tertawa lantang dan seperti menikmati atas apa yang ia lakukan.

"Dasar anak iblis!" Desis ayahku, dia mencengkram bahu adik kembarku dengan erat.

Adik kembarku itu justru menatap ayahku dengan sorotan tajam, dia mengeluarkan pisau nya yang lain dari saku, dengan cepat adikku memotong tangan ayahku. Tangan ayahku terputus, masih tersisa jari jari dan telapak tangan yang menggemgam bahu adikku. Adikku melepaskan potongan tangan itu dari bahunya.

"Arrrgghhhh... T..tanganku!!" Ringis ayahku sambil terus melihat tangannya.

Vanessa kecil, yaitu diriku sendiri justru malah menangis di pojokan tampa menolong sedikitpun. Raut wajahku tampak ketakutan dan mengeluarkan air mata yang begitu deras.

"Ayaahhhh.... ibuuuu....!!" Teriak ku dengan histeris, barulah diriku yang masih kecil berani bergerak juga. Diriku yang masih kecil merengek dan menangis di depan mayat orang tua ku sendiri.

"Kak vanessa. Maafin aku ya, tapi aku harus pergi. Jaga diri baik baik." Ucap adik kembarku itu, aku tidakk mengubris perkataannya.

"Ayah!! Ibuu!! Bangun!!!"










Aku bangkit, mataku terbuka dengan cepat, aku mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Apa itu tadi? Sebuah mimpi? Mimpi tentang masa laluku? Kenapa aku sampai bermimpi seperti itu?

Aku meringkuk di atas kasur,  sambil meratapi setiap memori atas mimpiku. Sebutir air mataku akhirnya menetes, tubuhku merasakan gejolak takut sekaligus benci.

Mengapa saudara kembar ku tega melakukan itu?

Mengapa aku tidak tahu kalau dia seorang psikopat?

Aku memutuskan untuk beranjak dan memilih ke toilet untuk mencuci mukaku yang kusut ini. Aku membasuh wajahku dengan air, aku melihat cermin yang memantulkan diriku sendiri. Oh, hayolah, aku benar benar kacau sekarang.

Aku baru sadar, kenapa tabungan ku di bank selalu terisi sendiri. Siapa orang yang menjadi wali ku sebenarnya? Mengapa dia tidak menampakan diri? Setiap minggu aku tidak pernah kekurangan uang sedikitpun, tabunganku selalu terisi, siapa yang mengisi itu semua? Biaya sekolahku pun selalu lunas tanpa aku tahu sedikitpun.

Ponsel ku berbunyi, aku beranjak buru buru keluar dari toilet untuk mengambil ponselku yang berada di bawah bantal. Terdapat nomor panggilan yang tidak aku namai, dan tidak aku kenali. Aku mengangkat telepon itu dan menempelkannya ke telinga.

"Dengan nona Vanessa angelina torien?" Terdengar suara dari seberang sana.

"Ya. Benar, saya sendiri"

"Wali anda ingin bertemu. Sekitar 30 menit lagi, saya menjemput anda."




***

Vote, komen.

Walinya siapa ya? Ada yang bisa nebak di komen?

Ini pertanyaan dari salah satu temen gue.

"Vanessa hidupnya gimana? Dia kan ga ada ortu, kok bisa dapet duit buat makan atau keperluan?"

Nah dari pertanyaan itu, sudah terjawab di part ini. Jadi, jangan nanya lagi oke?

Follow IG : @mutiara1210

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

She A PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang