ambivert 1 : worthless

788 53 0
                                    

Sekolah menjadi ajang untuk menambah ilmu, baik dalam ilmu pengetahuan, ilmu percintaan, bahkan ilmu pertemanan. Ada murid bagaikan Google portabel, ada pula yang dijuluki si cinta seribu tempat, lalu terakhir, murid tersebut digadang-gadang sebagai orang dengan koneksi tiada akhir.

Namun, lain dari seluruh spesifikasi di atas, terdapat anak yang biasa-biasa saja. Tidak punya ilmu, dia santai. Yang penting nilai di rapot tengah maupun akhir semester bisa memenuhi syarat. Toh, orang tuanya tidak menekan anak itu supaya menjadi seorang profesor ataupun Google portabel.

Tidak punya cinta, dia pun datar. Menurut nalarnya, cinta tidak akan membuat dirinya menjadi profesor ataupun Google portabel. Satu dua kali ia menyukai lawan jenis, tetapi itu hanya sekilas pandang dan tidak dapat dikategorikan sebagai cinta. Toh, orang tuanya tidak saling mencintai. Untuk apa dia susah memikirkan hal payah itu?

Lalu, tidak punya teman, dia pun tidak perlu ambil pusing. Seorang atau beberapa teman datang dan pergi seiring waktu mulai bertambah tua. Teman serta sahabat, baginya hanya QOTD (Quotes of the Day) yang tidak akan berpengaruh sepenuhnya. Walaupun tidak peduli terhadap keberadaan teman, pada kenyataannya gadis itu tetap memilikinya, satu juga dua teman baik. Selain mereka, orang-orang yang ia kenal hanya sebatas rekan kelas.

Satu-satunya orang yang memiliki pemikiran demikian adalah Miranda.

"Aku Miranda. Terserah ingin kau panggil apa, yang terpenting jangan Randa. Aku masih bujang, bahkan sampai lapuk."

Begitu katanya ketika perkenalan pertama di kelas X SMA.

"Apa kau berniat mempromosikan diri supaya anak-anak menganggapmu keren?" tukas seseorang di belakang.

Miranda mengerling malas. "Apa telingamu berfungsi? Aku mengatakan bujang, bahkan sampai lapuk. Perbaiki dulu telinga itu, baru kau boleh berkomentar."

Itulah hari pertama Miranda di sekolah menengah atas. Selanjutnya, pada pulang sekolah, Miranda berjalan menuju parkiran, hendak membawa sepeda fixie-nya pulang bersama ke rumah. Namun, ketika baru melangkahkan kaki di area parkir, lelaki jangkung menabraknya hingga kunci pengaman sepeda Miranda jatuh.

Ia pun menunduk, mengambil kunci tersebut, lantas berdiri tegak. Lelaki jangkung itu berlalu tanpa meminta maaf. Miranda menelaah lagi postur tubuhnya, kemudian saat lelaki itu menoleh mencari kendaraan, gadis tersebut tahu bahwa dialah Ario, teman--lebih tepatnya rekan--saat SMP dulu.

Mereka berdua tidak bisa dibilang dekat, hanya akrab karena beberapa kali sempat menjadi tim dalam berbagai mata pelajaran. Miranda ingat Ario selalu menyebutnya baik dan ramah di beberapa kesempatan, seperti malam pembinaan iman sebelum ujian nasional.

Senyumnya mengembang remeh, berjalan menuju sepeda fixie oranye yang ternyata bersebelahan dengan road bike Ario.

"Eh, Rio," sapanya pura-pura tidak mengingat tabrakan tadi.

Ario tersenyum singkat seraya memasang helm hitam pada kepalanya, lantas naik ke sadel sepeda, mengayuh pedalnya.

Gadis itu melihatnya berlalu, tanpa sekalipun berbicara.

"Itulah teman, pujiannya sangat singkat, tapi membekas. Caranya menghancurkan pun tidak jauh berbeda."

AMBIVERT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang