ambivert 2 : effortless

407 30 14
                                    

Tidak ada pertemanan yang bersifat amerta di dunia ini. Kendati demikian, Miranda tetap membangun hubungan dengan beberapa murid di sekelilingnya tanpa perlu mengeluarkan usaha yang besar. Di sekitar bangkunya, terdapat lima perempuan yang memiliki kepercayaan berbeda dengan Miranda. Empat di antaranya merupakan perempuan bertudung putih.

Rekan sekelas mengenal lima murid maniak dunia hiburan Seoul itu sebagai golput (golongan putih). Bukan bermaksud rasis, itu hanya sebuah label yang menunjukkan bahwa mereka dianggap ada dan berwujud.

"Miranda, aku pikir kau keturunan Cina," tukas Santi, salah satu golput.

"Aku seratus persen anak pribumi." Miranda mengembangkan senyum tipisnya.

Ratna pun menimbrung di tengah mereka. "Masalahnya, matamu kecil."

Selama di sekolah menengah pertama, terdapat banyak murid bermata kecil, bahkan nyaris tak tampak ketika tertawa, dan Miranda merasa lumrah akan hal tersebut. Akan tetapi, ia tidak pernah menyangka ketika golput di SMA umum menyebutnya bermata kecil.

Alih-alih marah dan merespons ucapan Ratna dengan galak, Miranda malah berkata, "Mataku kecil, tapi suaraku besar."

Pujian demi pujian mengalir, sama seperti masa putih birunya dahulu. Beberapa rekan takjub akan kemampuannya berbicara menggunakan suara rendah serta berat. Teman akrab Miranda, bahkan Ario pun pernah beberapa kali bertanya mengenai datangnya suara itu. Menelan mikrofon sekaligus boks besi pengeras suara menjadi kecurigaan paling utama.

Setelah diselidiki dalam Google, penyebabnya adalah tubuh Miranda memiliki hormon testosteron yang berlebihan. Hormon tersebut seharusnya lazim diterima oleh laki-laki yang memasuki pubertas, tetapi ternyata Miranda malah ikut serta dalam antrian.

Sedikit ia kesulitan beradaptasi, nyaris depresi ketika semua orang menyuruhnya untuk tutup mulut daripada berbicara dengan suara kelebihan volume. Dalam satu kesempatan, rekan-rekan satu gereja malah meminta Miranda supaya menaikkan suaranya satu tingkat lebih tinggi.

Dia hanya dapat tersenyum tipis, tetapi dalam hati seperti tersayat belati.

Semakin tahun bertambah, mereka maklum dan Miranda dapat memulai kehidupannya lagi seperti biasa. Di sekolah ini pun ia memiliki banyak keuntungan atas julukannya sebagai si suara alto yang terlampau alto.

Miranda menjadi pembicara dalam setiap presentasi, bersama Ario yang lambat laun mengakui keberadaannya. Menurut lelaki itu, Miranda tetap sama; baik dan selalu ramah.

Hanya saja ia tidak tahu betapa keras usaha Miranda agar terlihat seperti itu.

"Kau saja yang menjelaskan pada anak-anak," kata Ario di satu sesi tanya jawab, "aku akan menunjukkan padamu di mana jawabannya."

Seolah di dalam tim itu, hanya dua orang yang bekerja; Ario dan Miranda.

Seolah Ario berpikir, perlakuan apatisnya kemarin tidak berpengaruh dalam kehidupan Miranda selanjutnya.

AMBIVERT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang