Kelasnya di tahun pertama SMA terbilang biasa-biasa saja, tidak berbeda jauh dengan masa awal SMP. Tidak ada yang mengesankan, kecuali lelaki bernama El. Miranda menyukainya, hanya menyukai. Lelaki itu keturunan luar pulau, sama seperti Ario. Dalam sekali ketik nama lengkap El dan menekan tombol enter, keluarlah satu informasi yang cukup jelas untuk jabarkan.
Seperti lelaki kebanyakan yang Miranda suka, El merupakan penikmat karya dari Jepang, baik lagu, film, anime, apapun itu. Dia juga pemain gim daring. Miranda melihat semua informasi tersebut selama satu malam hingga larut dan terbangun dengan lingkaran hitam di bawah mata.
Namun, ia tidak bisa menampik kekecewaan saat tahu bahwa El gagal melanjutkan kelas di tahun kedua SMA. Lelaki itu terpaksa tinggal, membiarkan Miranda di kelas XI bersama orang-orang yang belum akrab dengannya.
Golput telah mengambil jalan masing-masing, kalaupun di jurusan yang sama, pasti kelasnya berbeda.
Eva, seorang rekan dari tahun pertama pun menjadi temannya, menghadapi kelas XI yang penuh kesengsaraan.
"Akhirnya kita satu kelas, Miranda!" pekik Eva kala itu.
Miranda pun mulanya santai menanggapi itu.
Namun, di situlah konflik berjalan.
Eva adalah si perempuan cinta seribu tempat. Banyak pria pernah menjadi kekasih hati walau hanya singgah satu jam saja. Kepiluan ditinggal pria seolah sudah menjadi nasib Eva yang patut untuk ditangisi, kemudian air matanya ditumpahkan kepada Miranda.
Gadis yang dulunya tidak pernah dijadikan tempat mencurahkan isi hati, kini merasakan keterkejutan. Teman-teman akrab dahulu kerap menyembunyikan sesuatu tanpa sekalipun membeberkannya kepada Miranda.
Baiklah, Miranda mengerti itu. Ia memang bukan penjaga rahasia yang baik di mata teman-teman. Wajah polos gadis itu tidak membuat mereka yakin bahwa rahasia dapat terkunci rapat di mulutnya.
Hingga satu hari, Eva datang dan bertekuk masam di lututnya seraya terisak, "Mengapa selalu aku yang disakiti, Miranda?"
Pertanyaan itu keluar lagi untuk kesekian kali.
Harinya kelam seketika.
Ingin ia berkata, "Mengapa kau selalu bertanya kepadaku?"
Akan tetapi, ia tak punya daya.
Memang benar, cinta membuat orang tergila-gila, bahkan yang tidak pernah merasakannya pun dibuat gila, semacam Miranda.
Ia ingin mengadu kepada golongan putih. Namun, mereka sibuk.
Ia ingin bercerita kepada teman semasa SMP. Akan tetapi, keyakinan hatinya mengatakan bahwa mereka mungkin tidak akan banyak membantu. Toh, mereka belum tahu siapa itu Eva.
Akhirnya, dia mengambil jalan lain.
Miranda duduk diam di bangkunya, merana, mencoret-coret kertas. Terkadang, bila pikiran jahatnya kambuh, tangan kanan Miranda bisa saja memerah akibat pelampiasan pada dinding. Terdapat monster mengayun dalam jiwa, mengendalikan kesedihan-kesedihan miliknya hingga meliar.
"Apa kau baik-baik saja, Miranda?" tanya Eva ketika ia murung di jam pertama pelajaran.
Miranda menggeleng pelan, lantas tersenyum.
Namun, kebenaran yang mutlak adalah keinginannya untuk berteriak, "Untuk apa kau bertanya seperti itu kepadaku? Ke mana saja dirimu kemarin? Mengurus cinta yang selalu menyakitimu?"
Seseorang, tolong lepaskan monter yang sedang berkamuflase menggunakan kulitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVERT ✔
Short StoryIni sebuah kisah, dari dia yang selalu cemas. Ini sebuah kisah, tentang dirinya yang merasa tak berdaya. Ini sebuah kisah, untuk mereka yang tak pernah percaya bahwa sebenarnya dia tidak mampu melakukan segala hal.