Miranda semakin tidak sanggup untuk menolak setiap permintaan Eva, bahkan permintaan orang lain. Apa pun akan ia lakukan sekalipun dengan kesumat. Seolah kata tidak bukan lagi menjadi penghuni kamus prinsipnya.
Seolah ia memiliki prinsip baru; "It's not okay to say no."
Kedatarannya yang dahulu telah tiada, berada dalam makam kehancuran. Banyaknya pikiran kacau dalam benak membuat Miranda hilang akal, hingga puncaknya terjadi pada suatu sore di kelas Matematika.
Di luar kelas langit sedang menangis pelan-pelan. Pengajar yang berniat keluar untuk mengambil dokumen pun kelimpungan. Ia bertanya kepada para murid, barangkali mereka membawa payung. Alih-alih berkata tidak atau pura-pura masa bodoh, Miranda mengeluarkan payung lipat dari tas disertai senyum.
Tidak ada yang buruk saat guru kembali ke kelas dengan dokumen juga payung milik Miranda.
Namun, itulah awal segala perkara.
Seusai bel pergantian pelajaran, pngajar jam selanjutnya dikabarkan tidak dapat mengajar untuk satu alasan. Rekan-rekan kelas yang ingin izin ke kamar mandi pun terpaksa meminjam payung Miranda.
Lagi, ia melakukan kebaikan dengan berkata, "Ini, tapi jangan lama-lama."
Sayangnya, mereka menggunakan payung terlampau lama. Seorang anak kemudian datang ke kelas, menghampiri Miranda sembari menunjukkan kekacauan pada benda berharga itu.
"Miranda, mengapa payungmu seperti ini?" tanya anak itu dengan wajah lugunya.
Beberapa besi penyangga terlepas, knop yang biasa digunakan untuk membuka payung pun tak dapat digunakan lagi. Miranda menerima benda tersebut, kepiluan merasuk dalam tubuh mungilnya seketika. Beberapa kali ia berusaha memperbaiki benda yang selalu menemaninya di kala hujan.
Sudah lama payung itu setia dalam tasnya. Jikalau rusak, Miranda membenarkan sendirian. Kadang pula gadis itu menjahitkan namanya di permukaan kain, membuatkan tanda bahwa payung tersebut secara sah menjadi miliknya.
Akhirnya kini, ketika mati-matian menyatukan besi dan membuka tutup si payung ungu itu, gagal sudah usahanya.
"Miranda, apa aku boleh pinjam payungmu?" Seorang anak lagi-lagi menghampirinya, berkata dengan nada halus.
Namun, telanjur emosinya tak dapat terkendali, Miranda berteriak, melempar payung itu hingga menabrak meja lain.
"Itu payung! Pinjamlah! Makan sekalian kalau kau lapar!"
Anak itu pun mengambil payungnya, lalu kembali kepada Miranda. "Ada apa? Aku hanya ingin meminjam."
Miranda malah menendang meja sampai terlempar ke tanah. Semua anak menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian, tidak terkecuali Eva. Gadis itu lekas memeluk Miranda, menenangkannya, tetapi percuma saja. Ia sudah kalap.
"Aku pulang pakai apa? Kau boleh pinjam, tapi jangan kau rusak! Apa kau tidak tahu tata krama? Siapa yang bertanggung jawab sekarang? Tidak ada, bukan? Keparat kau semua!" jeritnya sambil menendang meja sampai menabrak meja guru di depannya.
Seolah ikut merasakan pilu, tangisan dari langit pun berubah menjadi amarah. Gemuruh serta kilat menggelegar, menyebabkan kerusakan di beberapa tempat. Anak-anak kelas lain menjadi cemas, sementara Miranda tetap dalam keadaan tidak terkendali.
Laporan pada keesokan hari pun mengatakan bahwa satu pohon di dekat perpustakaan tumbang, dedaunan gugur dengan beberapa bagian mengalami perobekan.
Itulah kerugian dari ketidakmampuannya berkata tidak.
Mulmed:
Love, Ariel
By UnitedFandoms100
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIVERT ✔
القصة القصيرةIni sebuah kisah, dari dia yang selalu cemas. Ini sebuah kisah, tentang dirinya yang merasa tak berdaya. Ini sebuah kisah, untuk mereka yang tak pernah percaya bahwa sebenarnya dia tidak mampu melakukan segala hal.