Aku menekan tombol off di remote. Penyiar wanita dengan senyum berseri yang mengatakan jika salju pertama turun malam ini menghilang. Diganti layar gelap yang memantulkan bayanganku yang sedang duduk malas di sofa.
Serealku sudah habis sejak satu jam yang lalu, bagian susunya mongering di bibir mangkuk dan semut-semut kecil mulai berjejer di meja.
Aku berdecak, segera mengangkat mangkuk dan berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Setelah menaruhnya di tumpukan piring yang belum tercuci, aku mengecek isi kulkas.
Sebutir telur ayam dan setengah danging beku berhasil membuat lidahku berdecak dua kali dalam semenit.
Aku akan mati konyok karena kelaparan.
Aku mengganti kaus hitam tipisku dengan sweater tebal berwarna sama. Lalu, melapisinya dengan coat panjang coklat yang tergantung di dinding.
Ketika membuka pintu apartemen, hal yang biasa kulakukan selama satu bulan ini adalah menengok ke kanan, pada pintu apartemen 152.
Aku terpaku.
Penghuni di dalamnya mungkin akan keluar melihat salju yang turun malam ini atau sama sepertiku yang ingin membeli beberapa bahan makanan.
Tapi, itu terlalu mustahil.
Aku kembali ke dalam apartemen, meraih satu sticky note dan menulis dengan cepat.
Ketika aku kembali keluar, aku menempel sticky note-nya di pintu apartemen 152.
Persis seperti apa yang kulakukan selama tiga bulan yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
the girl next room ✔
Short Story❛❛Perempuan yang tinggal di apartemen 152 tidak pernah keluar. Orang-orang bilang dia begitu pemalu. Hingga akhirnya, pada hari kelima di bulan Desember untuk pertama kalinya ia menampakkan diri. Berdiri di balkon apartemennya menikmati salju yang...