" Cinta Pertamaku Yang Abadi "

971 30 1
                                    


Aku melihat matanya, begitu banyak kilauan harapan disana, harapan beribu rasa yang kini aku pendam kepadanya, entahlah, haruskah aku berharap begitu tinggi. Aku tahu diri tentang cinta, dimana aku bahkan terlalu naif untuk menyentuhnya.
Aku terhanyut dalam diam, terhanyut dalam waktu yang kini menghipnotisku...
"mar, bengong aja nih.. kesurupan ya lu?" Simon menghampiri ku, dengan senyumnya yang menusuk ulu hati, oh tidak, aku mungkin berlebihan, tapi itulah kenyataannya.
"sialan... ehh kelas udah sepi banget, kita pulang yuk" ajakku, seketika melihat sekeliling kelas yang kini kosong dan hanya tinggal kita berdua.
"ntar deh, gue nunggu butet" dia tersenyum lagi.
"butet? si liliana natsir maksud lu?" Tanyaku meyakinkan.
"iya, lu tau gak mar?, kemaren dia senyumin gue loh" Ucapnya dengan penuh kegembiraan.

inilah mengapa aku tak pernah berani untuk bermain dengan cinta, dimana cintaku hanya tertuju padanya. Simon, ya, sahabatku sendiri. Aku terlalu naif dengan cinta. Aku tahu begitu sulit mendapatkan cinta simon, oh tidak seharusnya aku mengharapkan itu. Tapi jika dibanding butet, si cewek populer yang selalu dikejar cowok keren, aku bukanlah apa-apa.

"lo pedekate?" Tanyaku berusaha bersikap santai meskipun tertahan rasa sakit.
"yoi, hahaha, gue kemaren jalan sama dia, dan rencananya gue mau nembak dia hari ini" simon menatapku penuh senyum, tatapan yang bahkan siap menghancurkanku.
"eh mon, gue ke toilet dulu yak" aku langsung bergegas ke toilet, mungkin simon akan bingung dengan tingkahku ini.

Aku membasuh wajahku, menatap sekali lagi wajahku didepan cermin. "hai gadis biasa" ucapku pada bayangan cermin diriku sendiri. Aku tersenyum, mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi tanpa dicintai. Aku bergegas kembali ke ruang kelas. Namun, belum sampai aku ke daun pintu aku mendengar suara yang tak asing bagiku.

"kamu mau kan jadi pacar aku tet?" ucap simon dengan lembutnya.
"iya, aku mau mon" butet lalu memeluk simon dengan lembut.
Aku hanya mematung dari luar pintu, melihat semuanya, ya, cukup sudah.
"hmmmmm... kayaknya gue ganggu nih" aku berdehem dengan wajah gembira yang amat sangat dipaksakan.
"selamat ya"
"makasih mar, gue seneng hari ini akhirnya bisa juga kesampean nembak malaikat gue ini" ucap simon sambil menatap lembut butet... haruskah aku mengalami kesakitan ini Tuhan?.
"mar, kita pulang yuk, udah sepi nih sekolah" Ajak butet sambil merangkulku.
"eh ogah amat gue pulang ama kalian berdua, nanti gue jadi obat nyamuk, males ahhh" Bagus, alasanku mungkin kini masuk akal.
"udah sono lo berdua pulang duluan, gue mau ke toko buku dulu" ucapku berbohong.
"benernih mar?, gue kan tadi yang udh nyuruh lo nunggu, masa lo pulang sendiri sih" simon kini melihatku heran, seakan tak mengerti dengan jalan pikiranku.
"udeh gapapa, sono lo berdua pergi... jangan lupa PJ ya!!!"

-

"jadi si simon udah jadi pacar butet, mar?" Tanya sahabatku nitya, aku memutar tubuh ku menatapnya sembari mengangguk.
"gue gak ngerti betapa sabarnya elo, dan gue juga gak ngerti kenapa simon gak pernah sadar sama perasaan lo" nitya menatapku dengan penuh keheranan.
"mungkin karna gue gak pernah mau nunjukkin perasaan gue nit" aku mencoba tersenyum tulus.
"gue harap simon bakal tau secepatnya perasaan lo mar" Nitya menepuk pundakku, sambil tersenyum tulus.

Siang ini begitu cepat, secepat jam istirahat yang seakan liar memanggil...
"Mar ke kantin yok. !" Ajak nitya yang sedari tadi menunggu ku mencatat sisa pelajaran biologi.
"hmm.. oke, simon mana?" Aku memutar bola mataku mengelilingi kelas, dan tak ku lihat sosok simon.
"tadi dia ke kelas butet dulu katanya" Nitya menyeretku ke kantin tanpa ampun. Tepat disana, mataku tertuju pada objek yang tak asing lagi, dan sangat ku kenal. Simon, dia sedang bersama butet alias liliana yang sekaligus pacarnya. Sejenak Nitya berhenti, dan menatapku penuh arti.
"kita gak jadi ke kantin aja yuk, gue udah gak laper nih." Ucap Nitya sambil menarik tanganku, sedangkan mataku masih tertuju pada dua orang sejoli yang kini hampir saja meremukkan hatiku, mungkin ini berlebihan, tapi itulah kenyataannya, bahwa semua hal yang didasari dengan cinta kadang dapat menjadi berlebihan.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang