Light (part 4)

126 4 0
                                    

***

            “What the fuck you doing here?” tanya gadis itu dengan nada membentak. Isabel baru saja selesai mengerjakan pekerjaannya dan dia akan meminum kopi bersama Noel. What the fuck justin’s doing there? Menguntit?

            “Kau sudah milik pria lain. Kau harusnya tidak bersama dengan pria itu. kau harusnya berfikir, kitten. You’re mine and im yours. I wanna go to the club with you. Will you?” sejak kapan badboy yang sangar itu menjadi overprotective kepada perempuan? Setauku, badboy hanya memikirkan kesenangannya—meminum wishkey, merokok, atau yang lainnya. Dan satu hal, kalau dia kekasih Isabel, mengapa Isabel tidak pernah tau tentang Justin? Ini gila.

            “Diam kau. Kau tidak seharusnya di sini!” Bentak gadis itu. Justin menarik pergelangannya kasar. Raut wajah Isabel seperti anjing yang ingin menggonggong keras. Pria itu lalu menghempaskan tubuh Isabel di jok mobil Ferrarinya. Apa? Ferrari? Lalu dimana mobil Fiskernya itu?

            Justin masuk dari pintu berlawanan arah dengan Isabel. “apa yang kau lakukan? Apa yang kau lakukan dengan pria itu? kau seharusnya tidak bersamanya, Isabel. Kau harusnya bersamaku, hanya bersamaku!” Justin mengoceh layaknya seorang ayah memarahi anak perempuannya.

            “shut up Justin!” Bentak Isabel keras-keras membuat telinga Justin mungkin merasa ‘tuli’ untuk sementara. “kau yang harus diam. Kau yang harus diam mendengarkan aku! Karna aku tidak mau pria lain memiliki mu!” apakah Justin lupa dengan kata ‘berpura-pura’? atau memang Justin tidak ingin Isabel didekati oleh seorang pria lain?

            “siapa kau? Berani membentakku seperti itu? dan mengaku-ngaku sebagai kekasihku. Who do you think you are?!” Tidak kalah, Isabel lebih-lebih membentak seorang Justin. Lelaki itu hanya diam didalam kesunyiannya dan mengantar Isabel pulang.

            Sampai dirumah Isabel, gadis itu langsung turun tanpa ucapan selamat tinggal kepada pria itu. Persetan dengan kata kata selamat tinggal, dia tidak pernah peduli juga kan dengan semua itu. Dia hanya memikirkan tentangnya, dan tidak pernah memikirkan orang lain. Ugh

            “Tunggu, Isabel” Justin menggenggam erat pergelangan tangan Isabel itu waktu gadis itu ingin memasuki pagar rumahnya.

            “Apa lagi hah? Kau tidak puas membuatku kesal dengan apa yang kau lakukan kepada Noel? Sudahkah kau puas membuatku menjadi menderita begini? Sudahkah kau puas?!” Nada bicara Isabel naik satu oktaf dan cenderung membentak kepada Justin. Pria itu hanya bisa diam dan terus memegang pergelangan tangan gadis itu dengan erat.

            “Lepaskan tanganku! Aku ingin masuk.” Kata Isabel lagi. Justin masih diam dalam kesunyiannya. Harusnya Justin berbicara, tapi ini malah diam tanpa satu katapun.

            “Aku tidak akan melepaskan tanganmu Jika kau masih kesal denganku” itulah satu kalimat yang keluar dari mulut justin. “—Ayo bilang. Kau sudah tidak kesal lagi ‘kan kepadaku? Kumohon Isabel, Jawab aku.” Nada suara Justin seperti menderu, seperti sangat amat memohon kepada gadis itu.

            “Peduli apa kau, Jerk?” Isabel seperti memendam sesuatu dan tidak tahu apa itu. Sepertinya dia masih memikirkan sesuatu.

***

            Kakinya menapak tepat kesebuah taman yang indah. Sunyi, tanpa ada yang berteriak-teriak. Hanya ada dirinya, kakaknya, dan juga siulan burung Gereja disekelilingnya. Dia sedang berjalan-jalan dengan kakaknya yang bisa dibilang ‘ganteng’ dengan parasnya yang memang memperjelas semua itu.

            “Lex, kau tau sesuatu?” Tanya Isabel tanpa sebuah maksud tertentu, dia hanya ingin membuka pembicaraan dengan kakaknya itu. Isabel sedang meletakkan kepalanya tepat di paha kakaknya itu, sudah lama dia dan kakaknya itu tidak berbicara seperti ini. Berduaan layaknya seorang kakak adik yang ingin bercerita satu sama lain.

            “Tau apa, bel? Aku tidak tahu apa apa!” Isabel terbahak puas melihat kelakuan kakaknya itu. Mereka berdua seperti anak kecil!

            “Ya jelas lah, aku belum bercerita apa-apa kepadamu. Kau ini.” Kakakknya itu mengusap rambut Isabel yang benar-benar lurus dan berwarna sedikit kecoklatan itu.

           

            Mereka berdua bercerita-cerita tentang masalah masing-masing. Isabel menceritakan seorang badboy sialan yang baru saja dia temui dan Alex malah terkekeh dengan itu semua. Isabel juga bercerita tentang Noel yang memang tampan dan juga baik itu.

            “Berhenti menertawakan aku, Lex. Aku ingin mendengar ceritamu sekarang. Bagaimana Lucy?” Tanya Isabel. Setibanya semua menjadi sunyi-senyap. Tak ada suara, tak ada apa apa. Tatapan Alex berubah menjadi tatapan duka. Tidak semestinya dia seperti ini. “Aku tidak salah ngomong ‘kan?” Gadis itu menjadi canggung melihat kakaknya seperti ini.

            “Lucy? Lucy sudah hilang bersama pria lain. Coba bahas yang lain.” Nada bicara Alex makin lama makin turun mendengar sebuah kata yang membuat hatinya sesak.

            “Maafkan aku, Lex”

***

Isabella Merlin’s Point Of View

            Hari sudah menjelang malam. Tentu saja semua gadis-gadis masuk ke rumah kecuali gadis yang “nakal”. Suara gemercik air menemaniku dikamar mandi. Sudah berapa lama kira-kira aku tidak mengunjungi kamar mandi ini? Kamar mandi yang membuat aku trauma dengan seseorang disini. Waktu itu dia menyergapku semasa aku masih kecil. Untung saja waktu itu ada Alex yang menyelamatkan aku. Sudahlah, aku tidak mau bahas ini.

            “Isabel! Apa kau baik-baik saja? Cepat keluar, seseorang menunggumu di bawah.” Suara Alex tiba-tiba berdengung ditelingaku, membuat aku cepat-cepat keluar dan ingin mengetahui siapa orang itu.

            “Siapa, Lex?” Ucapku ditengah-tengah Alex dengan seorang pria itu yang sedang mengobrol. Pria itu berbalik dan menatapku tajam.

            “J-Justin?” Holy-Fuck. “—mau apa kau disini?” Seketika mulutku menjadi ingin menamparnya dengan ‘Pergi dari sini!’ atau apalah, tapi aku tidak sanggup.

            “Jangan galak-galak dengan kekasih sendiri, Kitten.” Telunjuknya menyolek daguku menja dan aku seperti berbicara “Ew.” Yang tidak terdengar olehnya. Hanya bentuk mulutku saja.

            “Aku ingin mengajakmu makan malam, maukah kau?” Ini benar-benar Sinting untuk dilakukan. Apa-apaan dia? Aku yakin ini bukan hanya makan malam, tapi dia juga akan mengajakku ke tempat semua orang yang bad itu. aku tidak mau.

            “Hanya makan malam, kah? Aku tidak yakin.” Ucapku asal-asalan membuat wajah Alex berbicara “wtf” kepadaku. Mungkin dia memang mual dengan kelakuanku yang tidak bisa menjadi manis sedikitpun.

            “Baiklah, aku akan ikut.”

            Dan seakan aku bisa meramal, aku benar-benar dibawa ke Club malam. OH MY GOSH, WHY HE DO THIS TO ME? “Kenapa kau membawaku ke tempat sialan ini lagi?!” Bentakku. “—Bawa aku pulang!” Bentakku sekali lagi.

LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang