Light (Part 9)

87 2 0
                                    

***

Justin Bieber’s Point Of View.

            Apakah aku terlalu keras padanya? Apa aku tidak bisa menyalahkannya? Apakah aku yang benar-benar salah karena membentaknya? Kurasa tidak, dia memang salah. Dia berjalan dengan pria lain. Untung saja aku berada di cafe itu, kalau tidak mungkin dia sudah benar-benar dekat dengan laki-laki kemarin, dan juga dia akan dekat dengan sahabatku, Jason.

            Jason? Kenapa dia juga ikut-ikutan? Apa mungkin dia menikungku? Apa mungkin dia juga menyukai seorang Isabella? Noel, dia juga harus kubantai. Arrgh, apa-apaan semua ini hah? Bahkan aku lelah untuk memikirkan mereka semua.

            Kemana Isabel pergi? Dia tidak menelfonku sama sekali pagi ini. Aku benar-benar merindukan dirinya. Kau tau? Dan aku dengar-dengar dari kakaknya, dia akan ke Oxford untuk kuliah. Kira-kira dua minggu lagi, mungkin.

            Aku ingin menelfon Isabel, ya Tuhan. Tapi aku masih kesal dengannya. Dia melakukan semua itu dan sama sekali tidak ada rasa bersalah kepadaku. Ya, aku tersesat diantara rasa kangen dan jengkel.

            Ringtone ponselku tiba-tiba berbunyi dengan keras. Oh, shit. “Kitten? Aahh, Kitten menelfonku!” Teriakku disaat tau Isabella lah yang menelfonku. Tapi, aku harus bersikap dingin.

            “Justin, apakah kau benar-benar marah padaku sampai-sampai tidak menelfonku sama sekali?” Belum sempat aku berkata Halo dia sudah menyambar seperti petir. Dasar, freak girl.

            Dan, ada apa padaku? Aku menunggunya dan sekarang memakinya? “Tentu saja. Aku sangat marah padamu.” Aku memasang nada yang dingin.

            “Berhentilah menjadi ice man!” Ocehnya. Benar-benar ingin terkekeh karena nada bicaranya yang sungguh lucu ini.

            “Who’s care? Nobody care!” Jawabu lagi-lagi dengan nada yang benar-benar dingin. Pasti wajahnya di sana tidak akan senang.

            Tut tut tut. Berani sekali dia menutup telfonku tiba-tiba. Ah, Freak girl.

***

Author’s Point Of View.

            Isabella sedang membereskan barang-barangnya yang berada di toko gaun tempatnya bekerja. Dia keluar dari tempat itu. Tidak tahu ada angin apa, Isabel memutuskan semua itu.

            “Bye, Liv. Aku keluar dari sini. Kau tahu? Aku akan pergi dari kota ini dua minggu lagi dan aku harus menghabiskan dua minggu itu bukan untuk bekerja. Aku akan sangat-sangat merindukanmu, Liv.” Ucap Isabel di depan meja kasir-nya Oliv. Oliv gadis yang benar-benar baik. Olivia sudah dianggap sebagai sahabat oleh Isabel.

LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang