Light (Part 11)

76 3 0
                                    

***

          “Jika itu maumu, aku akan sebisa mungkin pergi dari kehidupanmu.” Ucapku lirih ke arah bebatuan di tanah. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Katanya dia ingin berubah menjadi seseorang yang tidak pernah meminum wiskey lagi. Tapi mengapa seperti ini? Apakah dia sudah benar-benar membenciku?

          “Aku memang tukang kritik.” Ucapku memaki diriku sendiri. Mengapa menjadi seperti ini? Apa ini takdir? Apa ini adalah hukuman berat untuk orang sepertiku? Dan mengapa juga dia melepaskanku disaat aku ingin menjadi orang yang paling penting dihidupnya? Dasar lelaki gila, such a jerk.

          Aku berjalan terus menelusuri taman dekat rumahku. Terus berjalan dan terus merenungkan apa yang sudah kuperbuat kepadanya dan membuatnya terdesak. Aku melakukan ini hanyalah ingin merubahnya, bukan hanya kritik semata. Bukan hanya menyuruhnya, tapi bukankah mendesaknya itu juga akan merubahnya lebih cepat?

          Aku terus berjalan tanpa arah di taman ini. Rasa rindu benar-benar merasuki jantungku. Walaupun itu baru terjadi kemarin, tidak tahu kenapa aku sangat merindukannya. Tapi buat apa juga aku merindukan pria itu? dia sama sekali tidak merindukanku ‘kan?

          Aku menemukan kaleng bekas minuman ringan di tanah, membuatku gemas untuk menendangnya. Akhirnya, aku menendang kaleng tersebut dan mengenai seseorang. “Ups” Aku menutup mulutku. Lelaki itu menghadap ke arah yang sama denganku membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Dia mengusap-usapkan kepala belakangnya yang terkena kaleng minuman yang ku tendang barusan. “Apakah dia akan melihatku?”

          Badanku seakan enggan berbalik dan terus menatap pria itu. Dua detik kemudian dia berbalik. “What the fuck, Justin?!” Ucapku dalam hati. Mengapa dia bisa menginjakkan kakinya disini? aku tidak ingin bertemu dengannya walaupun aku merindukannya seperti aku merindukan orang-orang yang kusayangi. Aku ingin move on.

          Kami berdua sama-sama mematung. Akhirnya tubuhku ingin berbalik dan mataku juga ingin berhenti untuk menatap justin yang jauhnya hanya sepuluh kaki dari tempatku berdiri.

          Sigap, aku langsung menjauhinya dan kemudian tangankuku merasakan sentuhan tangannya itu. Rasanya masih sama sejak terakhir kali dia memegangku, memelukku, atau menggendongku kemarin. Oh Tuhan, aku semakin ragu untuk bisa melupakannya. Bahkan aku juga baru menyimpan rasa untuknya.

          Matanya menatapku tidak menyangka. Tangannya masih memegang satu tanganku. Baiklah, aku luluh dengan tatapan itu. Apa maksudnya seperti ini? “Tunggu sebentar.” Ucapnya lirih dan masih menatapku. Dia menarik tanganku dan menjatuhkanku tepat dipelukannya.

          Aku meronta karena tidak ingin mengingat kejadian kemarin. Mataku memanas, dan akhirnya mengeluarkan bulir-bulir air mata. “Stay.” Dia berbisik kepadaku. Dagunya menyentuh puncak kepalaku dan kemudian aku merasakan sesuatu yang basah terjatuh di puncak kepalaku. Apakah Justin, si jagoan bisa menangis?

          Aku menghapus kasar air mataku yang terjatuh di pipiku. “Ternyata aku tidak bisa tanpamu.” Ucapnya dengan nada yang sangat lirih dan lembut. Bulu kudukku berdiri tegang. Apakah ini memang benar-benar seorang Justin?

          “Kau bisa tanpaku. Lepaskan aku, Justin.” Ucapku dengan nada naik satu oktaf dan meronta-ronta ingin dilepaskan dari dekapannya yang membuat tubuku hangat, merinding, dan nyaman. Aku sudah cukup berurusan dengannya. Lagi pula, apa masalahnya jika dia pergi dari kehidupanku? Seharusnya aku senang akan itu.

          “Banyak gadis yang lebih baik dariku. Kumohon, lepaskan aku.” Dia pun melepaskanku tanpa kata selamat tinggal. Dia hanya diam, terpaku disana. Aku berjalan cepat dan meninggalkannya.

LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang