"Banyak yang berpikir kalau kota kami adalah kota mati, tapi sebenarnya tidak," jelas Namjoon.
Jungkook mengangguk-angguk mendengarkan. Tepat seperti yang kupikirkan.
Namjoon memimpin perjalanan yang beralih menggunakan kaki, menyusuri koridor yang membawa keduanya keluar dari stasiun sepi nan kosong. "Stasiun sepi karena kita sampai terlalu pagi. Bahkan langit masih gelap. Kau harus melihat pusat kota untuk mengetahui betapa hebatnya kota kami, Nak."
"Benarkah?" Jungkook berusaha menanggapi. Fokusnya perlahan melambat seiring dinginnya udara yang terus menusuk kulitnya. Ia ingin segera menemui sosok itu dan tinggal dalam kamar yang hangat bersama tawa dan dekapannya.
Kini keduanya sudah memasuki kawasan pusat kota yang sedaritadi menjadi topik pembicaraan utama Kim Namjoon, yang selalu membuat Jungkook terheran-heran—tak menyangka karena ada orang lain yang lebih cerewet dari ibunya.
Lantas sejurus kemudian, terdengar decakan kagum dari mulut Jungkook. Mendengar itu, Namjoon tersenyum puas dan hendak mempromosikan kembali kota kelahirannya itu. "Kota kami memang diselimuti banyak anugerah dari langit. Aku jamin seratus persen, selama aku hidup, tidak ada masalah dalam kota ini. Seiring berjalannya waktu, kau pasti bisa mengerti dan merasakan arti damai yang sesungguhnya."
"Wah," gumam Jungkook, untuk yang kesekian kalinya. "Sangat mengagumkan! Aku tidak menyangka kalau ada kota besar di tempat jauh seperti ini."
Sepertinya orang itu hidup bahagia di tempat ini. Ck, curang.
Tepat di dalam mata Jungkook, terpantul gedung-gedung tinggi beserta tenda dan bangunan warna-warni yang menghiasi kiri-kanan jalanan kota. Dentuman musik modern terdengar memenuhi semangat pagi, orang-orang saling menyapa ketika berpapasan, tawa anak-anak yang bermain di taman kota yang berada tak jauh dari sana bercampur aduk pada atmosfer yang sangat asing, namun hangat—persis seperti perasaannya ketika melihat sosok Namjoon pertama kali. Hujan salju dan udara yang dingin seolah tak menghalangi seisi kota untuk tersenyum secerah matahari.
Namjoon berdeham. "Sebelum memulai petualangan mencari temanmu, bagaimana kalau kita singgah dahulu untuk mengisi perut? Kau lapar, bukan?"
.
.
.
Jungkook dan Namjoon tiba di sebuah kedai mi di pinggir jalan. Meski sempit, kedai ini dipadati oleh pengunjung. Sepertinya kedai ini memang sudah terkenal di tengah masyarakat kota. Jungkook sendiri sampai harus menelan ludah, membayangkan betapa enak kudapan yang akan disantapnya.
"Yo, Kim Namjoon!" sapa seorang pria bertubuh gemuk dengan celemek pada tubuhnya. Bisa ditebak, pria itu adalah pemilik kedai. "Sudah kembali dari Seoul?"
"Tentu saja, Yong. Aku merindukan ramyeon buatanmu," jawab Namjoon. Kedua pria itu terlihat sangat akrab, Namjoon pastinya adalah pelanggan tetap kedai.
"Hohoho... kau bisa saja, Nam. Kalau begitu—oh! Kau membawa seseorang kemari juga?" ucap pemilik kedai yang terkaget-kaget melihat sosok Jungkook yang hanya duduk diam, memandangi keduanya dengan mata besar penuh tanda tanya.
"Annyeonghaseyo, namaku Jeon Jungkook." Jungkook mencoba bersikap sopan, meski itu bukan spesialisasinya ketika beretika.
"Apakah bocah ini adalah orang selanjutnya, Nam?" tanya pemilik kedai itu lagi setelah membalas salam Jungkook dengan senyuman, kali ini suaranya terdengar lebih pelan. "Kau benar-benar pandai menangkap me—"
"Tidak, Yong. Dia hanya orang biasa yang berkunjung," kata Namjoon, wajahnya ia dekatkan pada si pemilik kedai. "Kau tidak bisa membahas soal kerjaanku di depan orang asing," bisiknya.

YOU ARE READING
Spring Day (BTS FANFICTION)
Fanfiction"Tapi Hyung akan kembali, kan?" Taehyung mendadak terdiam. Oke, kali ini ia kehabisan alasan. Perhatiannya pun ia alihkan pada pemandangan luar jendela, angin malam di luar sana berhembus kencang-membawa banyak helaian bunga sakura yang sedang dalam...