02 : "Cherry Blossom and Ice Cream"

422 51 13
                                    

Satu tahun lalu.

Jeon Jungkook berumur sembilan belas tahun. Dengan wajah tampan yang digilai wanita seantero sekolah serta otak pintar, banyak yang mengira hidupnya sempurna dan penuh kebahagiaan. Namun, tidak ada yang tahu—dibalik senyum megah yang membuat setiap perempuan histeris, dirinya sebenarnya penuh dengan kekosongan yang tentu saja tak berarti.

Di dunia ini, banyak orang yang menggunakan kesempatan untuk dekat dengan anak emas sepertinya. Setiap hari, ia selalu mendapat pujian dari setiap hal yang dilakukannya, di sekolah—ia diperlakukan seperti pangeran dan idola. Tapi berbeda dengan di rumah—ia justru diperlakukan layaknya makhluk tak kasat mata—yang sama sekali tidak diacuhkan isi rumahnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga rindu untuk membagikan kebahagiaannya di rumah, bersama kedua orangtuanya.

"Eomma! Aku pulang!" ia selalu berseru layaknya anak yang tinggal dalam rumah yang normal.

"Aku sudah katakan untuk tidak menyinggung hal itu! Seorang istri tidak seharusnya berbicara kasar!" terdengar suara ayah menggelegar dari kamar.

Oh, Appa juga sudah pulang rupanya, batin Jungkook.

"Eo-Eomma... Appa...." dengan langkah pelan, Jungkook mendekati pintu kamar orangtuanya yang tertutup rapat. Namun tak ada yang menanggapi. Suasana berubah hening.

"Eomma, Appa... hari ini aku dinobatkan sebagai murid terbaik ketika upacara hari pertama sekolah!" seru Jungkook memberanikan diri untuk memamerka kemampuannya meski ia sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Biasanya ibunya akan langsung keluar dan memeluknya untuk menghargai hasil kerja kerasnya di sekolah.

"Be-Benarkah, Jungkook-a?" akhirnya terdengar suara ibu yang menyahut dari balik pintu. "Kerja yang bagus, Nak," tambahnya.

Jungkook tersenyum kecil. Tangannya yang menggantung di sisi tubuh mengepal, matanya terpaku pada daun pintu yang tertutup rapat—merasa yakin kalau ibunya akan segera membuka pintu untuk berhambur memeluknya bersama ayah dan setelah itu akan memasakkan makan malam yang lezat, layaknya keluarga normal.

"Tapi, Jungkook-a," suara ibu kembali lagi. "Maaf, ibu tidak bisa menemuimu sekarang. Ada yang harus ibu selesaikan. Maaf ya, Nak...." suara ibu terdengar parau dan tidak sesemangat biasanya.

"Ne." Jungkook menjawab patuh dengan dada penuh sesak. Ia baru mendengar suara ibunya saja yang terasa lesu, bahkan ayahnya yang tadi menggemparkan rumah enggan menyahuti dirinya. Akhirnya ia membalikkan badan, melangkahkan kaki—bukan ke kamar, melainkan kembali keluar dari rumah.

Sebagai remaja sembilan belas tahun, tentu Jungkook telah mengerti bahwa tadi ayah dan ibunya sedang berseteru hebat. Ia merasa bukan hanya hari ini saja, tapi hampir setiap hari ia harus mendengar tangisan ibunya dan suara ayahnya yang penuh emosi. Ia berusaha menghadapinya seperti biasa dengan memberitahu banyak prestasi yang ia prediksi akan membuat ibunya tersenyum kembali, tapi lakunya itu rupanya tidak tepat. Semakin hari, orangtuanya semakin penuh masalah. Rasa kecewa pun merasuki dirinya.

Karena bagian hidupnya yang terpenting bukan pujian dari guru atau teman-teman sekolahnya, ia hanya menginginkan orangtua—yang adalah orang terdekatnya—yang seharusnya memuji dirinya dengan kasih sayang. Ia ingin melihat orangtuanya tersenyum kembali dan rasanya hal itu mustahil untuk dikembalikan. Hidupnya memang menyedihkan.

Langkah Jungkook terhenti di depan sebuah minimarket. Sebuah ide terlintas dalam benaknya, lalu ia membawa dirinya masuk ke dalam toko dan menghampiri tempat es krim. Tanpa pikir panjang, ia mengambil es krim favoritnya, membayarnya secepat kilat dan berjalan meninggalkan minimarket dengan hati yang sedikit ringan dengan es krim di tangan.

Spring Day (BTS FANFICTION)Where stories live. Discover now