(Unedited)
CHAPTER 4
Aku sudah berusaha menceritakan semua yang kutahu –atau yang kuingat– pada kedua sahabatku ini.
Tapi sangat sulit meyakinkan mereka kalau aku benar-benar tidak ingat apapun lagi tentang liburan ini –selain semua kegiatan yang melibatkan kakek atau nenek.
Entah mereka percaya atau tidak ketika aku menjelaskan betapa bingungnya aku saat terbangun sepulang dari rumah kakek dengan memori yang tidak utuh dan bekas luka di leherku ini.
Shock, penasaran sekaligus ngeri tergambar di wajah Tasha dan Kia ketika aku menunjukkan bekas gigitan ini dan menceritakan mimpiku. Aku tahu mereka membayangkan yang tidak-tidak, karena aku sendiri juga masih sulit mempercayai mimpi itu.
Tentang mimpiku, Tasha dan Kia hanya tahu bagian ketika seekor serigala yang berubah jadi cowok bernama Tristan menggigit leherku, itu saja. Aku tidak menceritakan detailnya, karena well aku tidak ingin mereka tahu bagaimana emosi meluap-luap yang saat itu kurasakan. Sejauh ini mereka hanya menganggap kalau aku galau karena tidak bisa mengingat apapun. Tapi sebenarnya apa yang kurasakan jauh melampaui itu. Bahkan aku sendiri juga tidak paham.
Dan tentang Tristan, aku bahkan sama sekali tidak mengingat nama itu selain dalam mimpi. Wajahnya juga tidak begitu jelas. Samar. Aku tahu jawabanku ini pasti sangat tidak memuaskan siapapun.
Tasha sempat bertanya kenapa aku belum juga memberi tahu orang tuaku dan menyarankan agar aku segera memberi tahu mereka.
Yang benar saja. Menurutku itu malah bukan solusi. Lagipula aku juga sempat berpikir kalau amnesia ini mungkin tarjadi karena kecerobohanku sendiri. Entah aku terjatuh dari tangga atau tersengat listrik. Yang jelas orangtuaku juga tahu semua kelakuan bodoh yang biasa kulakukan. Dan aku yakin, kalau sampai papa tahu, ia justru akan marah dan menyalahkanku seperti biasa.
Mungkin aku nanti akan bertanya pada nenek saja, tapi tidak sekarang karena aku belum siap.
Aku meminta kedua sahabatku ini agar tidak memberitahu siapapun.
Jadi sudah tiga minggu ini aku mendatangi terapis sendiri dan kadang juga ditemani sahabatku.
Tiga minggu ini juga Kia berulang kali bertanya apakah sudah ada yang kuingat, sekecil apapun, yang selalu kujawab dengan gelengan menyesal. Aku kecewa pada diriku sendiri karena seharusnya aku bisa menemukan setidaknya sedikit saja jawaban untuk diriku sendiri. Bukan hanya untuk memuaskan rasa penasaran kedua temanku ini.
Mimpi itu –atau imajinasi, apapun itu– tidak pernah muncul lagi. Aku juga pernah menceritakanya pada terapisku, dan seperti yang kupikirkan sebelumnya, ia menganggap kalau itu hanya delusiku saja. Entah aku harus percaya apa.
Kedua temanku juga sepertinya semakin tidak sabar menunggu lambatnya perkembanganku. Tapi mereka berhasil menutupi rasa penasaran mereka dan selalu mensupportku.
Jadi tiga minggu ini berjalan datar dan biasa. Terlalu biasa bahkan, sampai semua orang –kecuali sahabatku–sepertinya bingung melihat perubahanku yang mendadak cuek ini.
Siapa bilang aku berubah? Mereka saja yang tidak pernah mengenal sisi ini dalam diriku. Semua orang hanya mengenal Amanda yang mudah meledak-ledak, sulit diatur dan suka membuat sensasi.
Amanda si ratu prom, si cantik, lucu, asik, egois, kejam, tega, miss popular, the bitch, semua sebutan yang dulu tidak pernah kupedulikan, sekarang memebuatku berpikir lagi. Apakah dulu otakku memang sedangkal itu sampai hanya bisa memikirkan popularitas?
Tidak heran kalau sepertinya semua orang agak kaget ketika bertemu dengan Amanda yang lebih kalem, sederhana, pemikir dan tidak peduli dengan sekitarnya ini. Aku ingin menertswakan kalimatku barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate Threads [on hold]
Werewolf❞Takdir memang lebih kejam dari psikopat.❞ Apa yang akan kau lakukan jika terbangun pada suatu pagi dengan sebuah bekas luka di lehermu? Bekas luka yang tidak bisa hilang bahkan setelah berminggu-minggu. Bekas luka yang tidak bisa kau ingat darimana...