P R O L O G U E

941 51 6
                                    

(unedited)

PROLOGUE

Tidak ada kata.

Hanya ada napas kami yang memburu. Atau lebih tepatnya isakan kami.

Aku kesulitan menahan air mataku yang tidak bisa berhenti mengalir ini. Sial. Mungkin besok pagi mataku akan bengkak. Tapi aku tidak peduli lagi. Seharusnya aku tidak perlu menangis seperti ini. Karena aku tahu, saat bangun besok pagi aku tidak akan mengingat apapun lagi. Aku tahu, semua ini akan sia-sia.

Semuanya salah pria yang sedang memelukku dengan erat ini. Ia berjanji padaku dan dirinya sendiri untuk tidak akan masuk dalam hidupku lagi. Ia berjanji kalau aku tidak akan pernah mengenalnya lagi. Ia berjanji bahwa sekarang adalah terakhir kali aku melihat wajahnya.

Janji konyol, memang. Sangat.

Dan untuk menepati janji itu, ia merasa harus menghapus ingatanku selama dua munggu ini. Menghapus semua kenangan yang berhubungan denganya.

Karena menurutnya, perpisahan ini akan terlalu menyakitkan untuk seorang manusia rapuh sepertiku. Ia ingin aku melanjutkan hidup yang wajar, seperti ketika aku belum mengenalnya. Ia ingin aku menjalani rutinitas membosankan itu dengan normal.

Dan semuanya akan lebih mudah jika aku lupa.

Memangnya aku peduli?

Aku tidak ingin melupakanya. Aku tidak ingin melupakan kalau ia ada. Kita pernah ada.

Seharusnya ia bisa menghargai pilihanku. Tapi tidak.

Sekuat apapun aku mencoba memberontaknya, sebanyak apapun goresan dan lebam di kulitku, bagaimanapun juga ia memang lebih kuat dariku. Pada akhirnya ialah yang menang.

Ia menggigit leherku, tepat  pada bekas gigitan sebelumnya yang ia berikan beberapa hari yang lalu.

Namun kali ini berbeda dari gigitan pertama yang berarti menyatakan kepemilikan terhadapku. Gigitan ini dimaksudkan untuk menghapus memoriku.

Aku tidak bisa menolak.

Dan ia menyesali gigitan pertamanya, yang meng-klaim diriku sebagai miliknya itu. Karena gigitan itu akan meninggalkan bekas yang tidak akan pernah bisa hilang di leherku.

Ia meminta maaf. Tapi aku justru senang.

Karena setidaknya, meskipun aku tidak akan mengingatnya lagi, bekas luka di leherku ini adalah bukti bahwa ia memang ada.  

Dan aku masih tidak bisa menghentikan isakan ini.

Ia mempererat pelukanya padaku. Seolah ingin merekam momen terakhir ini. Seolah menikmati potongan terakhir brownies favoritnya.

Namun ia tidak mengijinkanku menatapnya. Aku tahu ia juga menangis.

Aku tahu, ketika membuka mata besok pagi, semua ini tidak akan berarti lagi.

Fate Threads [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang