Epilog

76 7 3
                                    

-Author's POV-

Awan gelap di kota Paris yang menggantung, seolah-olah mendukung perasaan Andrea, gadis yang baru saja merasakan pahitnya patah hati.

    
Kakinya terasa berat setiap kali ia melangkah. Berharap setiap langkahnya dapat membuatnya lupa tentang sosok yang akhir-akhir ini menganggu pikiran dan perasaannya. Berharap setiap langkahnya dapat membuatnya menjauh dari kenangan buruk. Berharap setiap langkahnya bisa memulihkan hatinya yang tidak lagi sama seperti saat ia menginjakkan kaki di kota cahaya ini.

      
Setiap bulir mata yang keluar menandakan betapa lemahnya ia sekarang, betapa sakitnya ia sekarang.

      
Merasa tidak sanggup lagi, ia berhenti di pinggiran jembatan yang menghadap ke sungai Seine. Lalu kenangan-kenangan itu kembali menghantuinya. Dadanya merasa sakit kembali.

     
Bodoh, bodoh, bodoh. Rutuknya dalam hati.

       
Bagaimana ia bisa begitu cepatnya membiarkan seseorang merebut dan menghancurkan hatinya? Ia membatin.

     
Tapi kemudian sosok Harry Styles muncul kembali di pikirannya, menjawab pertanyaannya. Semua karena sikapnya yang manis, wajahnya yang indah, dan bagaimana perlakuannya selama ini. Wajar saja, siapa yang tidak jatuh hati pada cowok sesempurna itu?

     
"Bodoh!" Teriak Andrea tanpa sadar. Membuat beberapa orang meliriknya.

     
Ia kemudian mulai menangis lagi, menangis dan menangis seolah-olah semuanya dapat kembali senormal mungkin.

     
"Maafkan aku..." kini Andrea merasa sosok Harry mendatanginya dan memeluknya perlahan dari belakang.

     
Kedamaian langsung dirasakannya begitu ia dapat menciun aroma Harry. Tetapi Andrea masih terus menngis.

    
Harry, dengan mata berair dan sejuta penyesalan dalam perasaannya, memeluk tubuh mungil itu lebih erat. Seolah-olah ia akan kehilangan gadis itu untuk selama-lamanya. Dan itu mungkin saja terjadi.

        
"Maafkan aku, Drey. Maafkan aku..." kali ini ia menarik tubuh Andrea. Mengarahkannya ke hadapannya.

     
Andrea masih saja menangis. Perasannya tercampur aduk kali ini; marah, kesal, sedih, kecewa. Sebagian tubuhnya ingin menjadikan Harry sebuah bola dan menendangnya jauh-jauh dari kehidupannya. Sementara sebagian lainnya ingin memeluk Harry dengan erat.

       
Dan tanpa diduga, Harry mencium bibir Andrea. Sesuatu yang ia inginkan sedari dulu.

   
Andrea terpaku. Tubuhnya seolah-olah merasakan sengatan listrik yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Selama beberapa detik, ia menikmati bibir Harry di miliknya. Bahkan ia mencoba untuk membalas ciuman itu. Tetapi kemudian rasa bersalah menyerangnya.

     
Andrea melepaskan ciuman mereka. Harry menatapnya kecewa.

     
"Maafkan aku, Harry..." katanya perlahan.

   
"Tidak. Maafkan aku, Drey. Kukira itu semua salah paham. Mungkin kita bisa--"

      
"Harry," potong Andrea. Gadis itu menatap Harry dengan mata sembabnya.

       
"Aku baru bertemu denganmu. Maaf ini terdengar bodoh, aku rasa aku menyayangimu. Tetapi mungkinkah waktu sesingkat itu bisa membuat seseorang sebegitu berarti?" ucap Andrea. Suaranya bergetar.

      
Harry balas menatap Andrea tidak percaya. Perkatannya itu tadi tidak bermaksud hal lain kan? Batinnya bertanya-tanya. "Aku juga menyayangimu, sangat," balasnya.

"Tapi itu tidak mengubah apapun,  bukan?" ujar Drey kemudian, "ini hanya sebuah selingan bagimu. Karena tempatmu bukanlah di sini.  Dan aku juga tidak pantas denganmu... Apapun yang kurasakan."

   
Andrea merasa hatinya seolah diiris pisau tajam. Tapi ia tahu, ini adalah kebenaran. Semua hal yang selama ini dilewati keduanya, bukan berarti apa-apa.
      

Sementara Harry tidak tahu apa yang tengah dipikirkan gadis itu. Ia tidak mengerti, bukankah tadi gadis itu baru mengatakan bahwa ia menyayanginya? Lantas kenapa? Bukankah keduanya dapat mengatasi itu semua? Harry merasa pikirannya berputar-putar.

     
"Tapi aku mencintaimu!" katanya tegas.

      
"Kau yakin itu cinta?" ujar Andrea berusaha dingin. "Bukan rasa kagum atau senang?" Gadis itu memandang Harry getir.

      
"Itu tidak mungkin Harry, kau tidak—" ucapan Andrea seketika saja terpotong oleh Harry yang membalas ucapannya dengan tajam, cepat, seolah-olah ia berpikir Andrea akan memotong pembicaraannya.

"Apa itu penting? Bukankah definisi orang tentang cinta berbeda? Aku merasa aku mencintaimu, dan itu menjelaskan mengapa aku tetap ingin berada di sini."

      
Jeda sesaat. Sayup-sayup tedengar suara klakson mobil, dan alunan biola musisi-musisi jalanan.
       

"Percayalah, ketika kau kembali ke kehidupanmu, bertemu kembali dengan orang-orang yang kau sayangi, kau akan melupakanku." Andrea menahan isakannya yang benar-benar ingin ia keluarkan sekarang juga. Tenggorokan gadis itu sakit. Rasanya seperti ia menelan benjolan besar, dan tidak mungkin dapat mengeluarkannya kecuali dengan menangis sekencang-kencangnya.

"Haha! Betapa lucunya aku. Salah, aku salah berbicara. Kau sudah bertemu bertemu dengan orang yang kau sayangi. Sudah. Sekarang, pergilah dan lupakan aku." Andrea berbalik memunggungi Harry.

    
Sementara Harry terpaku. Hatinya tidak pernah sekacau ini. Melihat gadis yang dicintainya menjauh tentu membuatnya merasa sakit hati yang teramat sangat. Tetapi mungkinkah semua pikiran Andrea benar? Tentang semua yang telah dilalui mereka bersama?

     
Mereka tentu tidak lebih dari sekedar orang asing. Dan mengingat jatuh cinta tidak semudah itu, apakah rasanya ini salah? Lalu bagaimana dengan Kendall? Apa yang baru dilakukannya? Ia juga tidak lebih dari seorang pengecut karena tidak mampu memafkan sementara hati kecilnya berkata masih menyayangi gadis itu. Jadi, apa kebenarannya?

         
Kedua insan yang rapuh itu berusaha menahan dirinya masing-masing meski gaya tarik magnet di antara keduanya besar.

     
Mungkin, pikir mereka, ini semua adalah lelucon. Mungkin, pikir mereka lagi, semuanya hanya peristirahatan sejenak. Mungkin, hanya mungkin, rasa itu seharusnya tidak pernah ada di antara keduanya.

  
Dan kemungkinanlah yang memisahkan keduanya.

     
Tamat.

       

TWO SIDES | Harry Styles [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang