"Happy birthday aca! Happy birthday aca! Happy birtday.. Happy birthday.. Happy birthday.. Aca!" Suara nyanyian happy birthday yang dilantunkan Devan berhasil membuat Syadza terkejut.
"Gue aja sampe lupa, kalo gue ulang tahun hari ini, Van." Syadza tersenyum senang karena Devan—sahabatnya—begitu peduli dan perhatian padanya.
"Untung ada gue ya, gak?" Devan menaikkan alisnya, lalu tersenyum pada sahabatnya.
"Iya deh, lo paling THE BEST." Syadza menunggu Devan menyalakan lilin ulang tahunnya.
"Make a wish!" seru kedua sahabat itu bersamaan.
Tanpa disuruh lagi. Syadza langsung menutup matanya, lalu membuat harapan. Harapan yang sama, yang dia selalu ucapkan ditahun-tahun sebelumnya.
"Wish lu masih sama, Ca?" Devan langsung bertanya saat Syadza baru saja membuka matanya, tandanya wish nya sudah selesai.
"Iya, Van."
"Buat apa sih, bikin harapan yang gak bisa terwujud setiap tahunnya? Dia udah pergi, ca. Jadi ikhlasin aja," Devan berkata dengan nada tidak suka.
"Tahun ini gue yakin bisa. Yang lalu-lalu hanya belum, yang berarti akan." Syadza tersenyum penuh harapan. "Dia cuma pergi sebentar Van, entar juga balik."
"Terserah lo Ca, gue balik." Devan meletakkan kue ulang tahun Syadza dikursi. "Jangan lupa, kuenya dimakan. Terserah lo sih sebenernya, tapi jangan dibuang, sayang."
Syadza hanya mengangguk, berfikir. Apa ada yang salah sama omongan gue tadi? Apa gue salah, kalau gue berharap?
Syadza membuka hapenya yang sudah lama menemaninya itu, tidak ada satupun notifikasi untuknya, dasar jomblo.
Percuma emang. Gue beli paket mahal-mahal, taunya hape sepi ngalahin kuburan kayak gini. Mending gue balik.
Baru saja, Syadza Kirana ingin menyebrang, seseorang tiba-tiba meneriaki dirinya.
"AwassssssS!"
Tentulah Syadza langsung mengalihkan perhatian, menoleh ke sumber asal suara. Disana terdapat seorang anak laki-laki yang tidak terlihat jelas, ngeblur.
"Ngwngggggg."
Motor lewat dengan kecepatan tinggi, persis di depan Syadza. Jika tadi tidak ada orang yang meneriakinya, mungkin dia sudah pingsan berdarah.
"Woy, hati-hati dong lu kalo naik motor!" Syadza berbicara dengan nada berteriak.
Pengendara itu berhenti, ia membuka helm full face miliknya. "Maaf."
"What the? Maaf?"
"Iya. Maaf," orang itu turun dari motor ninja yang dia kendarai. Perlahan mendekat pada Syadza, "Gak ada yang luka kan?"
"Emang sih, gak ada luka. Tapi kalo tadi gue ketabrak gimana? Lo mau emang tanggung jawab?" Syadza menjawabnya dengan banyak pertanyaan.
"Loh? Lo gak luka kan? Yaudah, masalah banget."
"Ya, masalah lah."
"Apa yang jadi masalahnya?"
"Pertanyaan lo salah, harusnya siapa yang cari masalahnya. Jawabannya, lo."
"Mau lo apa?" Laki-laki itu merogoh kantong belakang celananya. Mengeluarkan uang, "Duit? Bilang aja."
"Gue gak mau duit lo. Gue cuma mau, lo berkendara dengan cara yang benar." Syadza melipat tangannya dan bergaya seolah hakim atau polisi.
"Lo juga mau minta SIM sama STNK gue? Gue gak bawa STNK. Dan gue belum punya SIM, umur gue baru 16." jawab orang itu seolah sedang ditilang.
"Kalo tau, lo belum cukup umur kenapa lo bandel?" Syadza menarik nafasnya. "Gue minta kartu pelajar lo."
"Ribet lo ya, bapak lo polisi pasti."
"Gak usah ngegembel. Mana kartunya?"
"Nih," orang itu memberikan kartu pelajarnya, dia bersekolah di sekolah yang sama dengan Devan. Bahkan seangkatan. Entah sekelas atau tidak.
"Gombal, bukan gembel. Lagi gue nanya doang kok," tambahnya.
"Oke. Lo boleh pergi, tapi inget! Hati-hati. Lebih bahaya kalo lo ketemu polisi beneran." Syadza menyerahkan kartu pelajar milik orang itu.
"Sip-sip, oke." jawab orang itu.
"Jangan sok asik. Pergi lo sono," Syadza tak peduli lagi, dia lalu mengambil kuenya dan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[A] Roleplay World [9/9]
Cerita Pendek[Completed] » Dari dunia Roleplay aku kembali terhubung dengan kesatria masa kecilku. Aku merasakannya, apa dia benar satria? Kesatria masa kecilku? Copyright © 2017 by saltypes