[DUA HARI SEBELUM BADAI MATAHARI]
Belum ditentukan, 2090. Pukul 09.17
Sosok tersebut mengaum jelek ke arah kami, tubuhnya linglung, jalannya pelan, tubuhnya terseok-seok saat ia mencoba berjalan. Mula-mulanya hanya satu sosok zombi namun semakin kencang zombi itu mengaum semakin banyak pula zombi yang berdatangan. Entah ada dorongan dari mana kuambil pisau dapur yang kutemukan di toko baju tadi dan melemparkannya tepat ke arah kepala zombi yang paling dekat denganku. Yang membuatku terkejut adalah fakta di mana pisau yang kulempar mengenai persis sasaran—dahi si zombi. Membuatku semakin keren karena pisaunya menembus hingga ke kepala bagian belakang sesaat sebelum si zombi jatuh.
"Kita harus pergi—sekarang!" jerit Victor.
Gerak sadarku langsung bekerja lagi dengan cepat. Kami berbalik badan berlarian ke manapun itu asalkan kami bisa menjauh dari segerombolan zombi yang terus mengaum di belakang kami. Mendadak kaca-kaca yang ada di toko sebelahku pecah dan para zombi lainnya keluar dari toko tersebut. Tubuhku tertangkap dengan cara yang tak cantik sama sekali—jatuh ke samping dengan bokong menungging dan zombi di atasku. Tak adakah posisi yang lebih etis dibanding cara jatuhku ini, batinku.
Aku berusaha bengkit berdiri meskipun bobot zombi di atas punggungku cukup berat, aku berhasil. Daniel menarik tanganku dan langsung menembak zombi-zombi tersebut. Kami menaiki eskalator yang mati menuju lantai yang lebih atas dari gedung ini dan aku baru sadar seharusnya kami mencari jalan keluar bukannya malah menaiki eskalator menuju lantai atas karena pasti lebih banyak zombi lainnya di sana.
Aku terjerembab ke depan saat sesosok zombi menarik kakiku. Kakiku memberontak minta dilepaskan, saat sudah terlepas kudorong dada si zombi hingga ia terpelanting ke belakang dan menabrak teman-teman lainnya yang berusaha naik guna mengejar kami. Kami berbelok ke kanan dan mendadak berhenti saat ada sosok bayangan lain di depan kami. Kami hendak berbalik badan dan menuju ke arah lain namun terlambat—para zombi itu sudah mengepung kami. Sosok di depan kami berlari semakin mendekat, kusiapkan diriku menghadapi kemungkinan terburuk.
Tidak ada harapan satu hari lagi untuk hidup, batinku.
Namun seakan ada sinar harapan yang datang ternyata sosok tersebut bukan zombi melainkan manusia, perempuan berambut pendek seperti laki-laki, di kedua tangannya memegang benda berbentuk bulat. Ia melepaskan pemicu benda tersebut lalu melemparkannya ke arah para zombi.
"LARI!" teriakannya bergema. Kami berlari mengikutinya sementara di belakang kami zombi-zombi tersebut meledak dimakan kobaran api yang ditimbulkan dari bom yang perempuan tadi lemparkan.
Kami mengikutinya menuju lorong panjang lalu belok ke kanan terus berlari hingga kami berhenti di suatu toko. Pintunya dibuka dari dalam, seorang pria tua terlihat panik di depan kami.
"Masuk," kata pria tua tersebut. Kepalanya memerhatikan sekeliling seakan memastikan tidak ada zombi atau monster yang mengkuti kami sampai kemari.
Kutebak bahwa toko ini adalah toko penjual makanan kecil-kecilan karena banyak sekali makanan di sini. Ya mungkin sebagian mereka mengambilnya dari toko-toko lainnya. Aku terkejut saat menyadari di pojok ruangan ada dua kipas angin yang berputar.
"Di sini ada listrik?" tanyaku to the point. Setahuku semenjak setahun lalu semua listrik di Indonesia mendadak mati. Tak ada kehidupan lagi semenjak hari itu.
"Um, Boy bisa membuat listrik dari baterai," jawab perempuan tadi dengan sedikit ragu. Mungkin saja ia curiga kalau nanti ujung-ujungnya aku dan yang lainnya meminta cara bagaimana membuat listrik dan mengambil ilmu milik orang bernama Boy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indonesian Apocalypse: Revenge of Fallen
Ficção CientíficaSequel dari American Apocalypse: The End of the World Indonesia, negara yang belum pulih dari 'kiamat zombi' menghadapi sebuah permasalahan baru, badai matahari. Yang Selamat hidup luntang-lantung demi bertahan hidup, tak terkecuali bagi Hazel Ally...