10

17 2 1
                                    

"Manga? Mashiro?" Ujarku memastikan aku tidak salah dengar. Ia mengangguk, lalu mengambil setumpuk kertas berisi manga. Ia memberikannya padaku.

"Setelah kencan itu, ia akhirnya memutuskan untuk menggambar ending yang tepat." Ujarnya.

"Matte,omong-omong tentang kencan itu, kau menjebakku? Benar begitu?" Tanyaku. Tentang kencan itu, tentang saat dimana aku cemburu buta, dan mungkin telah bersikap posesif pada kakakku sendiri yang ternyata menjebakku untuk mengikutinya.

"Benar. Saat itu aku hanya membantu Mashiro untuk memberikan konflik pada manganya. Jadi aku buat rencana, dengan begitu ia bisa lebih mudah melakukan penelitian." Ujarnya berterus terang.

"Lalu, apa ia memenangkannya?" Percuma, kata kataku tak dihiraukan.

"Lihat, gambarnya sempurna, tapi ia bukan penulis, jadi aku suruh untuk menggambar kehidupan sehari-harinya." Ujarnya. Aku membuka - buka halaman manga, dan kusadari kalau di manga ini posisiku adalah seorang gadis, atau tepatnya bertukar posisi. "Kuro to Shiro?" Gumamku. Itulah judul manga yang kupegang sekarang.

"Sayangnya itu bukan happy ending." Ujarnya membuka halaman selanjutnya. Manga ini berakhir dengan putusnya hubungan mereka, dan si heroine memutuskan untuk membenci sang hero. Sang hero Akhir yang sangat "memuakkan" untuk gambar yang tergolong sempurna.

"Aku sudah bilang untuk mengubahnya, tapi ia keras kepala. Ia malah bicara melantur. Ia bilang kalau sebenarnya kau membenci Mashiro." Lanjutnya menjelaskan.
"Benci..." Ujarku menangkap salah satu kata. Ya! Benci. Hal itu yang aku katakan di akhir kencan (kami). Mungkin itu yang membuatnya jadi terguncang.

"Jadi itu semua karena aku?" Ujarku lirih, tapi sepertinya Nii-san masih dapat mendengarnya, atau dia hanya menebak?

"Sekarang kau bisa menebak, lolos atau tidaknya manga Mashiro."
"Jadi ia benar benar menyukaiku?" Gumamku.
"Apa kau sudah tau apa yang akan kau lakukan sekarang?" Tanyanya terdengar jelas di telingaku. Aku berdiri, dan langsung keluar dari cafe. Kurasa aku tahu apa yang akan kuperbuat. Tapi pertama tama, aku harus memberikan sesuatu pada Hinata-sensei sebagai langkah awal. Kulangkahkan kakiku lebih cepat dari sebelumnya, tidak! Sekarang berubah menjadi lebih cepat. Larian terkencang yang pernah kulakukan.

Di bawah mentari senja, seorang pemuda dengan seluruh emosinya berlari sekencang yang ia mampu. Jalanan ramai di kota Tokyo tidak menyurutkan ambisinya untuk melakukan hal yang menurutnya adalah sebuah langkah menuju masa depan, mimpi, dan(mungkin cinta) dan... dan... "dan keluar dari keputusasaan!" Pekikku menyemangati. Nafasku tersengal, badanku penuh peluh. Tepat dihadapanku adalah ruangan Hinata-sensei.
Grek!
Tanganku tercekat. Barusaja ingin kubuka pintu itu, tapi ternyata Hinata-sensei sudah membukanya lebih dahulu.
"Oh, Kuro-kun. Nani?" Tanyanya.

"Eto... sensei! Ini, survei masa depan milikku. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan." Ujarku pergi. Ia menerima kertas lusuh itu.
Matahari mulai turun dari tempatnya, meninggalkan sinar sinar orange di langit. Menampakkan bayangan rembulan yang hendak menggantikan mentari(entah kenapa sering banget scene ini muncul. Sorry banget buntu otak author). Aku sudah mirip orang gila berlari kesana kemari mencari Tsu-chan yang entah pergo kemana. Terakhir ia bilang ia ada di aula, tapi sekarang batang hidungnya pun tak kutemukan.

"Huh... melelahkan juga berlari seperti ini. Hah..." Ujarku terngah engah, kubiarkan paru paru ini mengambil banyak oksigen. Jantungku berdebar-debar, tak sadar bibirku membentuk sebuah senyuman. Aku berhenti sebentar di persimpangan jalan. Setelah kupikir - pikir, lebih baik nanti kuhubungi Tsu-chan. Sekarang hal selanjutnya yang harus kuperbaiki adalah perasaan gadis yang telah kulukai hatinya dengan kalimatku yang tajam.
"Aku jahat ya..." Gumamku.

"Yosh! Ganbaro!" Pekikku bersemangat. Semangat musim semi di masa muda! (Cih! Alay :v ).

Tibalah aku di depan kamar Mashiro. Keringat mengucur dari tubuhku begitu deras, parahnya tanpa sadar aku masih memakai sepatu. "Masa bodohlah dengan sepatu!" Gumamku. Tapi sepertinya aku tahu, Nee-chan pasti akan murka.

Tak ada suara apapun, dari dalam kamar Mashiro. Hening, hanya terdengar suara detak jantungku. Jujur saja, aku gugup sekali. "Emm... Mashiro! Entah kau dengar, atau tidak. Aku akan bicara terus terang padamu. Pertama-tama aku sungguh minta maaf padamu. Melihatmu begitu sukses sebagai seniman hebat..." Aku menarik nafas panjang. Masih tak ada suara.
"Rasanya setelah mengetahui kenyataan itu, hatiku jadi sakit. Awalnya kukira kau adalah gadis yang polos, dan tak akan bisa hidup tanpaku, hingga aku muak padamu. Itu karena aku putus asa dan takut akan melangkah kedepan, dan tanpa sadar aku berhenti berjuang. Aku jadi membencimu. Jadi... maafkan aku, sepertinya pengasuhmu yang jahat ini sudah melukai hati kecilmu, jadi maaf-" Klang! kata kataku tercekat, aku menendang nampan berisi sarapan tadi pagi.

"Huh? Bahkan kau tak menyentuh sarapanmu? Sebegitu marahkah kau padaku? Sekarang aku tahu apa yang akan kulakukan, aku akan mengikuti jalanku sebagai atlet basket professional, aku akan berjuang seperti halnya kau. aku tahu kau tidak lolos moderasi manga, tapi berjuanglah, nee- Mashiro... apa kau masih marah denganku?" Ujarku. Aku sudah kehabisan kata kata. Yang ada dipikiranku hanyalah Mashiro, aku sungguh bersalah. Aku jadi penyebab kegagalan karir seseorang.

"Nee, Mashiro kalau kau mau memaafkanku maka bukalah pintu ini. Tidak mungkin bukan, kalau kau akab terus mengurung diri?" Lanjutku. Aku terduduk di depan kamarnya. Hening... ya, mungkin aku tidak akan pernah dimaafkan. Atas perbuatanku yang kekanak kanakan ini, aku tidak pantas dimaafkan.

Aku berdiri, lalu mengambil tas. Setidaknya aku sudah bicara padanya, waktunya pergi. Ceklek! Suara pintu terbuka. Mataku melebar, apa... Mashiro... "Kuro!" Ia melompat ke pelukanku. Kakiku yang bergetar, membuatku jatuh bersama Mashiro yang memelukku erat. Ia duduk, memandangku polos. Huft... ia menghembuskan nafas panjang. Tatapannya yang polos, seketika berubah menjadi tatapan dingin. "Baka! Kuro no baka!" Plak! Tamparan pertama yang ia layangkan padaku. Mungkin ia benar benar muak padaku. Iya, pengasuh bodohmu ini pantas untuk ditampar. Sekilas pandangan kami saling bertemu, tatapan dingin yang ia lontarkan sungguh menyakitkan. Tangannya terangkat lagi, bergetar hebat.

"Baka!" Tangannya masih terangkat, tapi kini ia terdiam.

"Gomenne, Mashiro... " Ujarku menundukkan kepala. Tangannya turun perlahan, lalu diam. Hening, tak ada sepatah kata terlontar dari bibir kami. Mashiro menatapku tajam, tapi lembut. Tatapan yang sama persis dengan Wataru.

"Wata-" Kalimatku terpotong. Raut wajah Mashiro berubah jadi tangisan. Air matanya mengalir deras.

"Mana mungkin aku bisa marah pada orang yang telah mengurus dan merawatku. Kau itu temanku, bahkan kau menolongku dari pembullyan kala itu, kalau saja aku tak mengenalmu... mungkin sekarang aku sudah mati. Apa kau gila! Sebenci apapun kau padaku, aku tak pernah bisa marah. Hanya saja, aku merasa sedih saat kenyataan itu mengatakan kalau kau tidak menyukaiku." Ujarnya. Nafasnya terengah, kalimat terpanjang yang ia lontarkan.

"Jadi kau benar suka padaku?"

"Itu benar, baka!"

"Mashiro, dengarkan aku. Sekarang, tak ada kata benci diantara kita, oke! Aku akan selalu disampingmu, melindungimu."
Plok! Plok! Plok! Plok!
Suara tepuk tangan dari arah tangga. Ternyata Nee-chan dan Nii-san, ditambah dia... dia itu... Tsu-chan! Mereka mengintip mengintip dari balik tangga!? Sejak kapan?

"Oh... juliet, aku akan melindungimu..." Goda Nee-chan, berakting dengan Nii-san seakan akan itu lucu. Tsu-chan juga, ikut bertepuk tangan dengan seringaian jahil di wajahnya.

"Hei, Kuro! Mau sampai kapan kau akan dalam pose seperti itu?"

"Ah! Sumimasen."

"Dan... ada lagi yang ingin kau katakan?"

"Eto... bagaimana ya.."

"Lontarkan pada kami! Jangan malu, kami berdua ini kakakmu..."

"Aku... aku akan ikut turnamen basketnya! Aku akan bekerja keras!"

Pof!
"Selamat berjuang!" Ujar mereka bersamaan. Tiba-tiba bagaikan yokai, tanpa disadari Hinata-sensei, dan Miiko sudah berada disini mengucapkan selamat padaku. Ditambah sebuah senyuman tulus yang ia berikan. Kami melakukan pesta sup sebagai tanda selamat berjuang, agar aku semangat melangkah kedepan. (ya.. itu yang author rasakan)

kuro to shiro(black white)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang