8 m

210 30 12
                                    

Hari ini hari libur dan gue gabut di rumah. Beneran, gue dari tadi cuma gelandang-gelundung di kasur. Mau sarapan tapi di meja makan cuma ada piring. Mau minta buatin sarapan ibu gue tapi baru ingat beliau dan bapak gue lagi ada kerjaan di luar kota, balik baru seminggu lagi. Mau buat sarapan tapi sialnya kulkas gue kosong. Berakhir gue telpon ibu gue tanya, "Bu, Sehun mau sarapan tapi bahan makanan habis,"

Terus cuma dijawab, "Ya belilah, susah amat?"

Ya daripada debat kusir sama ibu sendiri, gue turutin lah perkataan ibu gue. Niatnya. Gue baru berniat. Gue ingat kan kalau gue punya tetangga, jadi gue langsung meluncur ke rumahnya Krystal. Gue tahu semager-magernya dia, paling nggak ada sehelai roti di meja makan.

Gue mengetuk pintu rumahnya. Biasanya ibunya yang bakal bukain pintu karena jam segini Krystal biasanya lagi mandi kalau nggak masih molor. Tapi yang bukain justru Krystal dengan baju seadanya dan rambut yang dikucir berantakan.

"Orangtua gue lagi kondangan ke luar kota, lusa baru balik," katanya menjawab rasa penasaran gue. "Lo ngapain ke sini? Masih jam enam anjir," omelnya sambil mempersilahkan gue masuk.

"Laper gue. Di rumah stok makanan habis," gue sih nggak pernah bohong kalau soal ginian. Krystal berdecih kesal sambil jalan ke dapur, yang jadi satu sama ruang makan, macam yang ada di bar. Gue ikutin aja lah, ya masa gue mau duduk sendirian di ruang tamu?

"Duduk lo," ujarnya sambil menurunkan sekotak roti tawar dan beberapa selai. Habis itu dia nyiapin piring dan mengambil margarin. Rutinitas yang udah sering gue lihat. Soalnya gue sering banget minta sarapan dari dulu. Nggak cuma sarapan sih, makan siang, makan malam, ngemil juga kebanyakan numpang Krystal. "Dibakar nggak?" Pertanyaan yang sama tiap dia buatin roti buat gue.

"Iyalah, kayak biasanya," jawab gue. "Tapi-"

"Pinggirannya diilangin 'kan?" Potongnya. "Kayak baru aja lo numpang makan di rumah gue," sindirnya sambil ketawa ngakak.

Krystal ngeluarin mesin untuk bakar rotinya. Nggak sampai lima belas menit, gue udah disuguhkan sepiring roti bakar dengan selai cokelat-kacang. Ditambah segelas kopi yang dia buat setelahnya. Emang kalau makan di rumah Krystal berasa makan di kafe.

"Ini keanjiran yang haqiqi," ucap gue setelah selesai sarapan. Gue udah duduk di ruang tamu bareng Krystal, ucapan gue muncul karena gue baru aja lihat instastorynya Chanyeol.

"Apaan?" Tanyanya masih sibuk memindah saluran televisi.

"Jalan sama Somi," ujar gue.

"Dasar anjiang," umpat gue dan Krystal barengan. "Maunya apa sih Chanyeol?" Tanya Krystal emosi. Ya kalau Chanyeol udah jalan sama Somi, Seulgi gimana? Masa iya mau dicampakkan? Sok-sokan banget Chanyeol, kayak laku aja.

"Au ah," ujar gue asal. "Seulgi lihat nggak ya?"

Krystal mengangkat bahunya. "Sama Jimin aja udah dia harusnya," ujarnya.

"Ya tapi kalau lihat juga, emang Seulgi peduli? Dia suka apa sama Chanyeol?" Tanya gue. "Bukan salah Chanyeol juga 'kan? Dia lelah kali digantungin,"

"Ya iya sih," ujar Krystal. Sukanya gue berteman dengan Krystal salah satunya adalah karena dia rasional. Orang paling rasional yang pernah gue kenal. Kalau dia rasa temannya salah ya dia bakal ngatain temannya salah, tapi enaknya adalah dia ngatainnya dengan santai dan nggak ngajakin ribut. Paling ngajak tinju.

Nggak. Serius. Temenan sama Krystal itu enak. Dia easygoing juga soalnya. Ya walaupun kadang judes kadang perhatian banget, tapi gue rasa justru disitu letak pesonanya dia 'kan?

"Ya bodo amat lah mau gimana mereka berdua," ujar Krystal akhirnya. "Bosan gue,"

"Gue juga," sahut gue.

"Mau main PS nggak?" Tanyanya sambil nyengir. Iya mana ada cewek yang suka main PS selain dia? Mana gamenya itu bola, coy. Rata-rata cewek main game aja susah apalagi gamenya bola.

Jadi ingat tragedi tahun baru kemarin. Waktu itu kondisinya sama kayak sekarang. Kita di rumah sendirian dan gabut karena kita ditinggal orangtua ke luar kota. Gue sama Krystal pada akhirnya ngajakin Baekhyun, Chanyeol, Kai, Seulgi dan Wendy buat nginap di rumah. Di rumah gue. Dan malah berujung kita semua main PES sampai keesokan harinya, walaupun permainan Seulgi dan Wendy busuk banget. Nggak tidur seharian karena selesai main PES jam 8 pagi dan habis itu kita keliling kota seharian cari makan. Malah akhirnya Wendy dan Seulgi nginap lagi di rumah Krystal sehari, cuma buat tidur seharian.

"Leh ugha," sahut gue.

Dia tersenyum, terus langsung ngasih joystick ke gue setelah kita jalan ke ruang keluarganya. Ada TV dengan ukuran besar di sana lengkap dengan seperangkat PS.

Kita berdua duduk di karpet dan mulai main PS. Gue menikmati saat-saat dia menggerutu karena dia gagal mencetak gol dan disaat dia ketawa kesenengan karena dia berhasil. Well, gue paling senang bisa ngalahin dia macam sekarang. Hehehe.

"KALAH LO!!" Seru gue sambil tersenyum kegirangan.

"Bacot," umpatnya. "Ulang deh, ulang!! Ini kesalahan teknis!!!"

Gue mencubit pipinya gemas. "Kesalahan teknis apaan monyet?! Lo kalah ya kalah aja!!"

Dia berdecak kesal. "Harusnya gue nggak ngajakin main lo! Coba kalau si Kai yang gue ajakin main, menang ini gue!"

Gue tertawa. "Ya karena dia ngalah, bego! Just to make you laugh and happy, dia rela ngelakuin apa aja, termasuk ngalah dalam hal ini," ujar gue sambil mengacak rambutnya.

"Ya kenapa lo nggak ngalah aja? Biarin gue seneng kek sekali-kali," gerutunya.

"Karena gue nggak menganggap lo remeh," ujar gue.

"Hah? Gimana?"

"Kalau gue ngalah, kemenangan lo nggak ada artinya," ujar gue. "Mending gue kayak gini, treat you fairly. Gue menganggap kemampuan lo seimbang sama gue. Gue nggak mau ngeremehin cewek yang gue sayang, lo punya kemampuan dan gue juga. Jadi, kita bersaing secara sehat, Tal,"

"Beuh, omongan lo berat banget, sob," ujarnya sambil tertawa. Oke, level ketidakpekaannya kayaknya melebihi Seulgi.

Gue mengedikkan bahu. "People would say I'm gentleman,"

Dia berdecak lagi. Gue tertawa. "Hun, lo punya pacar nggak sih?"

Oke. Ini apa-apaan?

"Hah?"

"Lo," katanya sambil menunjuk gue. "Punya pacar nggak?"

"Kok tiba-tiba tanya gitu?"

Dia mengedikkan bahunya. "Ya, nggak papa sih. Cuma mau tanya aja,"

"Kalau gue punya kenapa? Kalau gue nggak punya kenapa?"

Dia diam. Ada sepuluh detik sebelum dia menjawab pertanyaan gue. "Nothing. Tapi in case lo punya pacar, semoga pacar lo nggak cemburu sama gue,"

"Karena?"

"Karena tadi lo bilang lo nggak mau ngeremehin cewek yang lo sayang tapi ke gue,"

Oh, dia sadar.

"Harusnya kan lo ngomong gitu ke pacar lo, tai kebo," ujarnya.

Gue menghela napas. Ini anak bodoh apa gimana.

"Tal,"

"Hm?"

"Kalau gue nggak punya pacar, lo mau nggak jadi pacar gue?"

RunningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang