Chapter 1

1.1K 28 4
                                    

 Teeettt!!! Teeettt!!! Teeettt!!!

“Itu bunyi bel sekolah! Waktunya masuk ke kelas”, Minami berkata-kata pada dirinya sendiri. Ia berlari dengan segera ke ruang kelasnya. Ia benar-benar tidak mau terlambat dan menghadapi seorang guru killer yang semua murid takuti itu.

Minami Fujita. Seorang anak yang periang dan merupakan blasteran dari pria Indonesia dan wanita Jepang. Itulah yang membuat wajahnya pun tampak asing, tidak seperti orang Indonesia asli. Matanya sipit dan kulitnya begitu putih. Namun karena sejak umur lima tahun ia tinggal di Indonesia, cara bicara dan gaya hidupnya pun telah menjadi seperti orang Indonesia kebanyakkan.

“Darimana aja lo? Kok nggak biasanya sih lo dateng telat?” tanya Tasya, teman sebangkunya.

Anou**..,” Minami kembali mengeluarkan aksen Jepang-nya, “tadi aku nggak nyangka kalo jalanan bakal macet di jalan Pemuda. Padahal nih ya aku udah santai-santai aja berangkat jam setengah tujuh, ternyata malah terlambat deh. Tapi untungnya Pak Joko belum dateng juga.” Ia menyeringai tanpa dosa. (**anou=anu)

Tasya tertawa kecil menanggapi perkataan temannya itu. “Sejak kapan lo ngentengin untuk dateng ke sekolah?” ia menyindir.

Minami hanya tersenyum seolah penuh misteri.

“Eh, kok cuma senyum sih?” Tasya menaikkan alisnya. Ia sepertinya membaca ekspresi wajah sahabatnya yang hari ini terlihat berbeda. “Misterius gitu pula.”

“Nanti aku cerita ke kamu habis pulang sekolah ya,” bisik Minami. “Pak Joko udah dateng tuh. Siapkan dirimu untuk menghadapi mate-MATI-ka.” Lalu tertawa kecil.

******************

Seusai sekolah, seperti biasa Minami dan Tasya pergi ke toko aksesoris milik mereka di Paragon Mall yang dinamai seperti nama pemiliknya. MINAMI. Mereka selalu memeriksa secara rutin keadaan toko mereka yang baru saja didirikan itu. Bagaimana pendapatan mereka hari itu, kondisi toko mereka dan berapa banyak pengunjung yang datang kesana. Hari ini, hasilnya cukup memuaskan. Hal ini membuat perasaan Minami menjadi semakin senang saja.

“Gimana Mi? Katanya lo mau cerita?” Tasya mengingatkan dengan percakapan mereka yang terputus tadi pagi di kelas sambil mengatur beberapa bando yang letaknya agak acak-acakan akibat ulah pengunjung.

Minami tersenyum. “Oh,” sahutnya singkat.

“Oh doang?” Tasya mengerutkan dahinya.

“Ke Starbuck yuk,” ajak Minami. “Karena aku bakal ceritain sesuatu yang agak panjang untuk didengerin.”

Mereka pun berjalan menuju ke lantai dasar dimana Starbuck berada. Mereka mengambil tempat yang paling nyaman di sudut ruangan.

Two hot chocolate, please,” kata Minami kepada seorang pramusaji. Ia selalu memesan dua coklat panas karena seleranya dengan Tasya memang sama dalam hal minuman.

“Baik, silakan tunggu sebentar,” kata pramusaji itu yang kemudian berjalan menuju dapur meninggalkan kedua gadis itu.

“Ehem,” Tasya berdehem seolah ia berkata bahwa ia tidak lupa akan janji Minami untuk bercerita “Aku siap dengerin kok.”

Minami tersenyum lagi dan menggeleng-geleng karena temannya itu. “Begini,” ia memulai ceritanya.

*********************************************************************

Jam 06.02.

Hari ini cerah sekali. Langit berwarna biru muda terang. Ia berpikir, andai saja langit tidak pernah menjadi gelap dan terus memancarkan warna kesukaannya itu. Hari itu adalah hari pertama dari liburan sebulan penuh yang memang merupakan waktu yang baik untuk berjalan-jalan ke pantai bagi Minami. Ke tempat yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi.

Onechan,” ia memanggil kakaknya perempuan yang sedang berbaring di ranjang kamarnya. “Mau ikut ke pantai nggak?”

Yuri, satu-satunya saudara yang Minami miliki menggeleng. Ia bahkan tidak berpaling sedikit pun pada adiknya yang mengajaknya bicara. Matanya terfokus pada laptop seolah tak seorang pun sanggup mengalihkannya dari situ.

“Ayolah Yuri chan, kakakku yang manis,” rayu Minami dengan nada agak sedikit merengek. “Aku lagi ngerasa bersemangat ini. Kita kan harus mengisi liburan kita dengan kegiatan yang menyenangkan!” Ia menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya.

Yuri mengeluh. “Nggak ah, Mi,” tolaknya. "Aku tuh lagi asik internetan sama temenku yang di Jepang nih.”

Wajah Minami tiba-tiba tampak berbinar. “Yang bener? Siapa?” tanyanya penasaran. Ia mencuri pandang ke dalam laptop kakaknya yang memunculkan jendela Skype. Hanya saja ia tidak tahu siapa yang kakaknya ajak bicara karena gambar profilnya adalah gambar bangunan tinggi dan nama profilnya sudah jelas adalah nama samaran.  “Itu kakaknya Ryoko, temen TK-ku ya?”

“Eeh,” Yuri memanyunkan bibirnya seolah menutupi sesuatu. “Itu cuman kenangan lama. Lagian kan cuman cinta monyet. Aku umur enam, dia tujuh. Masih kecil banget kali kita waktu itu. Dia juga wajahnya jelek kok sekarang. Aku nggak suka.”

“Iya, iya,” Minami tiba-tiba ingin mencegah perdebatan dengan kakaknya yang biasanya terjadi hanya karena hal sepele. Ia tahu kakaknya orang yang suka privasi dan tidak suka diusik jika ia ingin menyimpan sesuatu yang tidak ingin orang lain ketahui. “Gimana nih? Jadi nggak nemenin aku?” Ia kembali berusaha merayu kakaknya.

“Sekali enggak tetap enggak,” Yuri mengatakannya dengan tegas.

Minami mendegus kesal. “Memang kamu tuh, kalo udah di depan laptop aja, lupa segalanya,” lalu pergi meninggalkan Yuri sambil berusaha menurunkan emosinya agar tidak berbuah kemarahan.

Minami FujitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang