Chapter 2

293 18 0
                                    

******************

Minami pergi keluar dari rumahnya sendirian. Dengan mobil Honda Jazz biru miliknya, ia melaju menelusuri jalan Arteri yang membawanya menuju ke pantai Marina. Namun sayang, rasa senangnya tiba-tiba berakhir ketika ia tak melihat pantai yang dulu pernah membuatnya tak mau pulang. Pantai ini tak sebagus sepuluh tahun yang lalu.

“Pantai apaan nih?” katanya kecewa saat ia keluar dari mobil. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang menunjukkan kekesalannya. “Gini nih nggak buat aku betah, rasanya pengen pulang aja deh.”

Benar-benar Pantai Marina yang sekarang tidak semenarik dulu. Terlalu banyak pasir yang telah hilang karena sebagian pasirnya diambil untuk pembangunan jembatan yang menghubungkan pantai Marina dengan Bandara Ahmad Yani Semarang. Begitulah kata seorang nelayan yang ia tanyai. Rasanya ia ingin memprotes pemerintah untuk masalah yang sudah merusak hari pertama liburannya ini.

“Jadi nyesel sekarang deh sekarang lihat yang kayak begini. Keputusan kak Yuri betul banget nih untuk stay di rumah. Pulang aja deh,” ia berbalik dari arah pantai dan melangkahkan kakinya berbalik menuju mobilnya.

Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun yang sedang bermain di dekat bebatuan laut besar yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang. Posisi anak itu terlihat berbahaya baginya. Tanpa berpikir panjang, Minami segera berlari ke tempat dimana anak itu berdiri.

Rupanya dugaannya benar. Sesaat ia berada di dekat anak itu, batu yang licin tempat dimana anak itu berdiri membuatnya terpeleset. Namun untung saja gerakan Minami lebih cepat sehingga ia dapat mencegah anak itu untuk jatuh ke laut.

“Adik kecil, kamu nggak papa?” tanya Minami. Kedua lengannya melingkar di tubuh mungil anak laki-laki itu.

Tidak ada satu katapun keluar. Anak itu hanya terdiam. Ia terlihat seperti agak shock dengan kejadian yang hampir membuatnya jatuh ke laut. Tiba-tiba saja ia mulai menangis dan menangis lebih keras lagi.

“Aku takut,” isak anak itu.

Minami menghapus air mata anak itu. “Nggak papa,” ia memeluk dan membelai rambutnya. “Ada kakak disini. Jangan takut ya. Kamu bakalan baik-baik aja. Cup cup.” Ia membiarkan anak kecil itu duduk di pangkuannya. Rupanya ia merasa nyaman berada dalam pelukan Minami sehingga ia berangsur-angsur berhenti menangis. “Rumahmu dimana? Biar kakak anterin pulang ke rumah ya.”

Anak itu menunjuk sebuah rumah yang besar, yang berada di dalam kompleks perumahan Grand Marina yang tidak jauh dari situ dan arahnya menghadap pantai. Minami pun menggendong anak itu dan berjalan masuk menuju kompleks perumahan itu. Ia menelusuri jalan yang belum ia ketahui itu dan akhirnya menemukan rumah yang tadi ia lihat dari tepi pantai.

“Nah, sekarang kita udah sampai nih,” kata Minami saat ia berdiri di depan rumah yang tak hanya besar, tapi juga sangat mewah itu.

Tanpa kata anak itu menggandeng tangan Minami lalu memintanya untuk menekan bel rumah yang tidak dapat ia raih karena letaknya yang terlalu tinggi baginya. Minami pun berjalan lebih dekat menuju ke pintu lalu menekan tombol bel dan menunggu seseorang untuk membukakan pintu baginya.

Tak lama, pintu pun dibuka. Di balik pintu itu muncul seorang pemuda yang tampan, berambut coklat muda, hidung mancung dan jelas terlihat sekali bahwa ia merupakan blasteran 'bule'. Ia berdiri disana dengan ekspresi terkejut melihat adiknya bersama dengan seorang gadis asing.

“Hai,” sapa Minami dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya.

“H-hai,” balas pemuda yang salah tingkah dengan tiba-tiba itu.

Minami FujitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang