Chapter 3

273 17 0
                                    

******************

Hari berganti. Jam 06.30.

“Gimana kemarin jalan-jalanmu ke Pantai Marina?” tanya Yuri. Ia baru saja bangun setelah semalaman mengobrol dengan teman rahasianya itu. Penampilannya berantakan, rambutnya masih kusut dan ia masih terbalut dalam pakaian tidur.

Minami berdecak kesal. “Ah, pantainya jelek sekarang, kak. Nggak ada pasirnya. Kecewa berat aku kemaren,” sahutnya. Ia mengaduk susu coklat yang baru ia buat untuk membuatnya lebih cepat dingin.

Yuri tertawa puas menanggapi jawaban adiknya. “Ha. Aku kan punya indra keenam, jadi aku milih untuk chatting lewat internet,” katanya puas dan bangga akan keputusannya tempo hari.

“Yah, malah ngetawain, nggak ngehibur adeknya,” Minami menggaruk-garuk rambutnya lalu merapikannya kembali.

“Makanya, ikuti hatimu, kaya’ aku gitu,” Yuri tertawa lagi dan menjulurkan lidahnya. Ia memang benar-benar suka melihat adiknya merasa kesal walaupun sebenarnya ia menyayangi adiknya.

Namun, Minami tidak menghiraukan kakaknya. Ia sudah kebal atas sikap kakaknya yang senang mengerjainya. Ia justru ingin sekali menceritakan padanya mengenai pertemuannya dengan Tommy dan Naka. Namun ia mengurungkan niatnya dan menceritakannya suatu kali nanti. Ia tidak ingin kakaknya menertawakannya nanti jika ternyata pertemuannya dengan orang-orang asing itu hanyalah sementara dan tidak berarti apa-apa. Ia kemudian berpamitan pada Yuri yang menggoda bahwa ia akan menceritakan kejadian lucu yang Minami alami mengenai pantai rusak itu lalu meninggalkannya untuk pergi ke rumah Tommy untuk memenuhi janjinya.

Saat Minami berdiri di depan mobilnya dan hendak masuk, ia berhenti sejenak untuk berpikir. Di pikirannya terngiang permintaan Tommy, Aku harap, besok kamu kembali lagi kesini dan menemaniku sampai matahari terbenam. Ia merasa ganjal dengan kata-kata itu. Ia tidak mengerti mengapa Tommy meminta hal itu. Sampai matahari terbenam. Bagaimana kalau sebelum matahari terbenam? Atau malah lewat waktu dari matahari terbenam? Kenapa dia berkata begitu? pikirnya.

Ia masih merasa bingung sampai-sampai ia telah berdiri di depan mobilnya selama hampir sepuluh menit hanya untuk menimbang-nimbang apakah ia perlu ke rumah Tommy. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh. Dengan memantapkan hatinya, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Tommy.

*** 

Ding, dong! Ding, dong!

Minami menekan tombol bel berkali-kali. Ia menunggu dan menunggu tapi pintu belum dibuka. Sudah sepuluh menit ia berdiri dan menunggu tapi tak seorang pun muncul untuk membiarkannya masuk ke dalam rumah.

Pikirannya pun tertuju kepada sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia berpikir apakah sesuatu yang tidak baik terjadi pada Tommy. Namun pikirannya tiba-tiba beralih pada dirinya sendiri dan menjadi kuatir. Ia kuatir jika ternyata Tommy bukanlah orang yang baik seperti yang ia lihat kemarin, tapi mungkin ia sedang merencanakan sesuatu yang buruk baginya.

Ia menepis pikiran buruknya ketika ia menyadari bahwa ia terlalu berlebihan. Ia berjalan ke suatu sudut dan melihat apakah ada orang yang sedang berada di sekitar. Namun hasilnya nol. Tidak ada seorangpun yang ia lihat. Ia berjalan ke sudut lainnya, dan tidak menemukan siapapun juga.

“Tommy!” serunya tanpa berpikir panjang. Ia sudah lelah menunggu. “Ada orang di rumah?”

Klek! Pintu terbuka.

“Maaf kalo nunggu lama, aku baru selesai mandi,” Tommy muncul dengan handuk di sekitar lehernya.

Minami menaikkan sebelah alisnya. “Ya, aku bisa lihat itu,” katanya sambil berpaling ke arah lain untuk menghindari melihat Tommy bertelanjang dada. Ia juga merasa tidak mau memperlihatkan bahwa ia merasa malu melihat pemuda yang baru ia kenal itu tanpa busana menutupi setengah tubuhnya.

Minami FujitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang