"Aku ingin makanan yang lain."
Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, dan mereka berdua—Anha dan Jimin—malah saling cek-cok di dalam ruang 13C hanya karena masalah yang sepele.
"Lalu, kau ingin apa?"
"Sesuatu yang bisa dimakan."
Ya Tuhan, jangan sampai Anha menyentil kening lelaki di hadapannya ini. "Kau pikir bubur ini kayu? Sudahlah, cepat makan dan jangan sisakan satu suap pun."
"Aku tidak suka bubur. Bentuknya menjijikan. Lembek dan tidak cantik sama sekali." Jimin menilik ke dalam mangkuk porselen yang berisi bubur dengan ayam yang dipotong kecil-kecil. Oh, jangan lupakan sayuran berwarna oranye dan hijau itu. Duh, rasanya Jimin ingin muntah saja. "Berikan aku makanan yang lain. Apa saja. Asal jangan bubur."
Anha memutuskan untuk menyerah. Jimin memang keras kepala padanya, entah bagaimana sikapnya pada yang lain. Menyimpan kembali sarapan yang disiapkan itu ke dalam troli, ia berkata, "Kau mau roti? Aku membawanya hari ini karena tidak sempat sarapan di rumah."
Mengangkat bahu dengan bibir yang ditekuk ke bawah; merajuk, Jimin memilih membaringkan badannya kembali—memunggungi Anha yang berdiri dengan wajah memerah layaknya tomat siap panen. Pun, gadis itu lekas berlalu dan melanjutkan pekerjaannya mengantar sarapan-sarapan ini pada pasien-pasien yang lain. Lupakan Jimin dan perutnya yang sedikit bergemuruh, keadaan pasien lebih penting. Sebab salah sedikit saja, Anha bisa didepak tanpa pikir dua kali.
Setelah selesai, gadis Jung itu kembali ke meja kerjanya, mengambil bekal miliknya dan sebotol air mineral yang ditampung dalam botol karakter minion.
"Karena aku belum sempat sarapan, aku akan membagi rotinya. Satu untukmu dan satu untukku." Roti dengan isi potongan daging sapi juga saus tomat itu diberikan secara cuma-cuma oleh Anha pada Jimin yang kini duduk bersila di atas ranjang. Namun, tatkala jemari memar itu menyambutnya, Anha malah dibuat berdecak; sebal untuk yang kedua kalinya. "Apa kukumu tidak pernah dipotong?"
"Sesekali dipotong, kok. Tapi, itu pun kalau ada yang bersedia mengguntingkannya."
"Kembalikan makanannya."
Jimin membeliak, tidak terima karena harus mengembalikan makanan menggiurkan ini pada sang pemilik asal. Terlebih aromanya yang benar-benar menggugah selera makan hingga gigi serinya hampir menggigir pinggiran roti itu. "Apa-apaan? Kau tega sekali."
Anha merebut roti tersebut dari tangan Jimin dan lekas menjelaskan sebelum terjadi kesalahpahaman. "Tidak, tidak. Aku ingin memotong kukumu terlebih dulu. Risih rasanya melihat kau makan dengan kuku yang panjang dan kotor itu."
Jimin memandang jemarinya. Benar. Kukunya telah memanjang dengan ujung yang cukup runcing. Beruntung Jimin bukanlah tipikal orang yang senang bermain tanah seperti yang dilakukan teman-teman gilanya sewaktu ditemani para perawat di sini. Lantas, ia diam saja kala Anha keluar dari ruangan dan kembali dengan gunting kuku di genggamannya.
Hatinya lagi-lagi menghangat. Kali ini lebih hangat hingga Jimin bisa merasakan gemuruh mendera jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat. Entah perasaan apa yang bisa menggambarkannya saat ini. Yang jelas, si Park itu menatap lekat pada sosok perempuan yang kini menarik kursi untuk ditempati dan dengan telaten memotong satu per satu kukunya.
Hari itu, jam itu, menit itu, dan detik itu pula; Jimin mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Anha kelewat menawan dengan alis yang terkadang menyatu sebab kesulitan dengan telapak tangannya yang terluka. Jimin mendadak menyukai bagaimana bibir tersebut mengomel karena menemukan sedikit kotoran yang terselip di sela kukunya. "Jangan biarkan kuku-kukumu memanjang lagi. Kau bisa meminta bantuanku untuk memotongnya. Tidak perlu merasa sungkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔
Fanfiction[Re-write] It doesn't have foot but it can run It always remind you of something ©ᴘʀᴀᴛɪᴡɪᴋɪᴍ ⚠️ ᴛʀɪɢɢᴇʀ ᴡᴀʀɴɪɴɢ - ᴅᴇᴘɪᴄᴛɪᴏɴ ᴏꜰ ᴍᴇɴᴛᴀʟ ɪʟʟɴᴇꜱꜱᴇꜱ, ꜱᴇxᴜᴀʟ ᴄᴏɴᴛᴇɴᴛ, ᴀʙᴜꜱᴇ, ʀᴀᴘᴇ, ɢᴏʀᴇ ᴀɴᴅ ꜱᴛʀᴏɴɢ ʟᴀɴɢᴜᴀɢᴇ ᴛʜᴀᴛ ᴡɪʟʟ ɴᴏᴛ ʙᴇ ꜱᴜɪᴛᴀʙʟᴇ ꜰᴏʀ ꜱᴏᴍᴇ ᴍɪɴᴏʀ ʀᴇ-ᴡʀɪᴛᴇ...