ꜰɪɴᴀʟ: ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ᴍʏ ᴍᴇᴍᴏʀʏ

2.5K 331 111
                                    

[NOTE!]
play this song before you read!
Beabadoobee - Disappear

•••

Seminggu telah berlalu, tetapi rasa sakitnya masih terbayang hingga detik ini.

Menyandarkan punggung di tepi balkon, aku lekas memejamkan mata, coba mengingat kembali peristiwa-peristiwa menyenangkan yang pernah kulalui bersama dirinya. Jumpa pertama kami, konversasi pertama kami, hingga ciuman pertama kali. Semuanya masih lekat dalam laci memori, membekas dan tak akan lekang kendati roda kehidupan terus bergulir. Sebuah figura kecil kudekap erat, seolah-olah benda tersebut adalah benda paling berharga yang pernah aku miliki.

Park Jimin sedang beristirahat, jatuh lelap di dalam peti yang tertimbun oleh tanah.

Ah, sebenarnya aku tidak ingin menangis, sama sekali tidak. Aku bahkan memaksakan diri untuk mengulas senyum manis. Tetapi, entah kenapa bulir air kembali jatuh dari pelupukku yang memanas.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap memertahankan kurva yang melengkung, sebab aku tahu benar bahwa Jimin tidak akan suka jika aku bersedih dan larut dalam tangis.

Satu menit berlalu, aku masih tersenyum.

Dua menit berlalu, aku juga masih tersenyum.

Namun di sana, tepat di menit ketiga bersama rinai hujan yang mulai bersua dengan bumi, tubuhku sekonyong-konyong merosot menuju lantai semen yang lembab; jatuh bersimpuh dengan lunturnya senyum yang kupatri di wajah. Bibirku gemetar, hendak menyuarakan nama Jimin; memanggilnya berulang kali dengan harapan dia bisa kembali. Tetapi hei, itu sungguh hal yang teramat mustahil. Lantas aku hanya bisa mengatup rapat mulutku, tenggelam bersama tangis pilu dan riuhnya rindu.

Semesta berduka, begitu pula dengan Jung Anha—diriku sendiri yang terluka.

Kemeja krem milik Jimin yang kukenakan telah basah kuyup. Aku terisak semakin dalam, menggigit sudut bibir kuat-kuat guna meredam tangisan yang pecah bersama milik dunia. Besi berkarat itu tercecap oleh lidahku, mendominasi mulut hingga sekelebat ingatan menginvasi kepala, tentang Jimin yang sedang melakukan aksi heroiknya; menyelamatkanku dari bedebah Kim Taehyung. Air mataku turun semakin deras, pun aku coba menepisnya menggunakan punggung tangan yang lemah.

Aku coba menyuarakan lara, bercerita pada semesta bahwa hari ini aku terluka. Tetapi nyatanya, dia diam saja.

Pandanganku jatuh ke bawah, menilik sayu pada bingkai foto yang kudekap menggunakan satu tangan. Di sana, tampak tubuhku yang bergelung dengan selimut, lelap dalam buaian mimpi, sedang di bagian bawahnya muncul separuh wajah manis milik Jimin.

Foto ini diambil tepat di malam di mana Jimin memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, diabadikan menggunakan kamera ponselku tatkala pencahayaan yang menerangi amat sangat minim. Dia mengulas senyum tipis, berpose dengan telunjuknya yang mengarah langsung ke tubuhku. Jimin bahkan sempat-sempatnya membubuhkan kalimat manis di bagian bahwa foto; Jung Anha, wanita yang paling kucintai.

Ya, aku mencetak foto ini agar aku bisa memeluknya secara nyata.

Mengusap air mata yang telah bercampur dengan tetes air hujan, aku melepas satu geraman tertahan, coba mengatur ulang napas yang sempat tercekat di pangkal tenggorok. Satu tanganku mengepal, memberi hantaman kecil di bagian dada secara berulang kali. Sungguh, ini benar-benar menyiksa. Rasanya seperti ada bilah besi yang menyumbat rongga paru-paruku.

Karena dengan aku mati, ia juga mati
Tetaplah lanjutkan hidupmu.

Kalimat itu tertulis di secarik kertas, tertoreh menggunakan tinta hitam, dan terlipat rapi atas nakas. Ya, secara tidak langsung, Jimin telah mengorbankan nyawanya untukku. Padahal jika aku mempunyai waktu satu jam lebih lama—atau mungkin lima menit lebih lama, aku akan mengatakan bahwa aku bisa menerima Jimin beserta sisi kelamnya. Aku akan mencintai mereka berdua; adil, sama rata. Berusaha menerima kendati aku tahu sosok tersebut amat sangat berbahaya.

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang