Kini, dia sudah pergi, menemukan dirinya, hidupnya. Dia kembali pada nama yang menjadi identitasnya. Dia pergi dari satu tempat ke tempat lain mengikuti nalurinya. Dia pergi tanpa mengetahui kenyataan bahwa aku telah menyimpan hati yang lain di dalam hatiku.Dia tersenyum setiap hari. Aku menangis setiap hari. Dia tak pernah memilih pria lain, tak juga memilihku. Dia tak pernah merasa sepi. Dia selalu mendengarkan setiap orang. Dia selalu mencoba memperhatikan semua orang. Dia tak pernah egois, tak sepertiku. Hanya mendengar diriku sendiri, hanya pedulikan diriku sendiri. Kini aku hancur sehancur-hancurnya, dan dia tenang setenang-tenangnya. Dia tak kembali padaku, karena aku belum berubah, Masih egois. Aku pun tak berusaha mencarinya. Hanya duduk manis di kursi tuaku yang berat.
Aku mengusap air mataku dengan tisu. Aku berdiri dari kursi tuaku, aku bahkan tak punya daya untuk mengangkat kursi kayu itu. Aku berjalan tertatih-tatih, menuju lemari pakaianku, hanya selembar kaos dan celana tidur yang ia tinggalkan.
Aku tak menemukan jejak-jejak dia di lemari itu, selain baju dan celana tidurnya. Jantungku terasa begitu ngilu, hatiku begitu remuk. Air mataku benar-benar jatuh tanpa perlu ijin dariku, membasahi pipi. Air mataku meluncur deras ke lantai kamarku. Aku menutup lemari itu dengan tenaga yang tersisa, hampir tak ada sisa. Aku begitu lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Pena tua
Short StoryBukan saja perihal menulis menurutku, pena ini sudah menjadi tinta dari garis gores hidupku.