Lembar pertama, aku mengakui rasa bersalahku telah memintanya mengikuti keyakinanku. Aku bangga ketika ia tampak bahagia, meski kedua orangtuanya tak turut menyaksikan senyum bahagianya.Lembar kedua, aku mengakui pernah membentaknya dan tak menghiraukannya tanpa sebab. Aku bersikap seperti itu, ketika aku mengingat belahan jiwaku yang lain. Belahan jiwa yang selalu merengek, meminta waktuku, ingin bersamaku. Awalnya aku merasa risih, tapi kemudian aku tenggelam dalam upaya rayunya.
Lembar ketiga aku mengakui telah bosan dengannya dan tak membutuhkannya. Aku mulai asik dengan dia yang jarinya begitu lentik, yang tubuhnya begitu harum ketika aku datang mengunjunginya.
Lembar keempat, aku pernah menghinanya. Menghina budaya kelahirannya. Aku menyebutnya sebagai budaya yang konyol. Budaya yang melahirkan dia yang selalu ingin mengunjungi tempat baru, berkelana mengenal dunia lebih luas. Aku benci bila dia berpamitan keluar kota, menuruti dorongan yang disebutnya sebagai naluri. Aku bahkan marah besar ketika dia mengajakku dalam perjalanannya.
Lembar kelima, aku hanya peduli dengan diriku, perasaanku, pikiranku, aku tak mau mendengarnya apalagi orang-orang yang peduli padaku. Aku berubah menjadi bebal. Aku bahkan menulis bahwa aku tak layak disebut manusia.
Lembar keenam, aku menceritakan kepergian dia. Aku menyesal, dan aku ingin dia kembali. Aku bodoh. Masih saja aku mengharap dia yang memintaku, bertanya apa aku masih ingin bersamanya. Dia lepaskan semua tentangnya demi membahagiakanku.
Aku bodoh, aku rapuh, aku gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Pena tua
Historia CortaBukan saja perihal menulis menurutku, pena ini sudah menjadi tinta dari garis gores hidupku.