Bab 4

1K 143 14
                                    


IBRAHAM sedang duduk di ruang tengah, memangku stoples kukis mentega sambil nonton teve. Nada baru saja keluar dari kamar mandi dengan piyama yang ia kenakan, rambutnya basah dan handuk melilit di lehernya. Melihat Ibraham yang nyaman menempatkan diri di ruang tengah, Nada iseng menoyor kepala laki-laki itu dari belakang.

"Jangan lo abisin tuh cemilan," goda Nada.

Ibraham menoleh, melotot. "Kaget, sianying."

"Maaaaaaa, Ibra ngomong kasaaaaar ke aku!" teriak Nada kencang-kencang, berupaya agar ibunya di dapur mendengar. Melihat perilaku Nada, Ibraham menarik gadis itu. "Apaan sih, lo. Umur berapa masih suka ngadu."

"Siapa suruh lo enak banget keluar masuk rumah gue," Nada duduk di samping Ibraham, ikut menyomot kukis dan nonton acara teve yang sedikit nggak jelas. Ibraham mendesis. "Oh, jadi gue nggak boleh ke rumah lo? Padahal gue nganterin brownis kukus keju favorit lo?"

"O, ya?" mata Nada berbinar-binar. Ia buru-buru berjalan ke dapur dan menghampiri ibunya yang sedang memotong brownis menjadi potongan yang lebih kecil. Setelah membawa empat potong brownis di tangannya, Nada kembali ke ruang tengah.

"Gimana kalo gue nikah sama aja lo, Bra? Biar gue bisa makan brownis nyokap lo kapan pun gue mau," usul Nada, menyuapkan sepotong ke mulutnya hingga pipinya penuh. Ibraham berdecak jijik. "Dih, males banget punya istri macem lo."

"Ye, sianying."

"Tanteeeeeeee, Nada ngomong kasar, Tanteeeeeeee!" kali ini giliran Ibraham yang berteriak-teriak seperti baru saja ketemu maling. Nada menyiku perut Ibraham. "Sekarang siapa yang masih kayak bocah?"

Ibraham nyengir.

"Eh, Bra, lo punya nomor HP-nya Ranu nggak?" Nada melesakkan sepotong brownis lagi ke mulutnya.

"Punya. Tapi nomor jaman dia masih SMA. Gue nggak tahu nomornya yang baru," jawab Ibraham, lalu mengecilkan volume teve. "Iya nggak apa-apa," balas Nada dengan mulut penuh.

Ibraham mengeluarkan ponselnya, lalu melempar ke Nada. Gadis itu gagal menangkap dengan tangkas. Ibraham mendengus. "Reflek lo jelek banget, sih."

"Protes mulu." Nada menggerutu. Ia mengambil ponsel Ibraham yang tergeletak pasrah di atas karpet, lalu menekan pola kunci di layar utama, dan menggeser nama-nama yang ada di deret kontak. Begitu ia melihat nama Ranu, Nada mengopi sebelas angka tersebut dan mengirim via chat ke ponselnya.

"Lo ada urusan apa sama Ranu?" tanya Ibraham acuh tak acuh.

"Gue sekelas sama dia. Mata kuliah Pak Albert."

"Oh."

Nada menyerahkan ponsel Ibraham, lalu sibuk dengan ponselnya. Ibraham melirik sekilas. "Lo nggak naksir Ranu, kan, Nad?"

"Kok lo mikir gitu sih? Kan gue nyari nomornya Ranu biar gampang ngehubungin kalau kita mau kerja kelompok," Nada mengelak, masih memencet-mencet layar ponselnya.

Ibraham manggut-manggut. "Soalnya dulu pas festival olah raga, dia selalu ditemenin cewek. Pacarnya kali."

"Oh."

"Nad, bagi minum dong.." pinta Ibraham.

Netra Nada berotasi. "Ambil sendiri kek, biasanya juga lo langsung ngacir ke dapur gue kayak lo yang punya rumah."

"Dasar cewek nggak ada manis-manisnya," rutuk Ibraham, bangkit dan melenggang ke dapur.

***

Ranu sudah bosan menghadapi kedua orang tuanya yang tak henti bertanya mengapa ia menyia-nyiakan kesempatan, bakat dan kemampuan yang ia miliki. Pemuda itu hanya menjawab dengan diam. Ia sudah memutuskan untuk tidak menjelaskan mengapa ia masih berada di kota ini, bukannya berenang dan bersekolah di luar negeri.

BIANGLALA UNTUKMU [fin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang