Bab 30

501 75 35
                                    

"KENAPA lo menghindar?" Ranu langsung menuduh, tepat sasaran begitu Arka meletakkan gagang telepon nirkabel yang semula ada di genggamannya. "Biar gue tebak. Adisty pasti ngajak lo ketemu, kan?"

"Gue males."
"Males?"
"...Belum siap, lebih tepatnya."

Ranu menyapukan pandangan ke seluruh kafe. Malam ini suasananya biasa saja. Tak begitu ramai, namun juga tak lengang. Ada sekitar empat meja kosong dari sepuluh meja yang tersedia. Ranu memutar lengan gelas berisi minuman dingin yang dipesannya lima belas menit lalu; masih tersisa cukup banyak. "Kafe juga nggak rame banget."

"Gue belum siap, Nu."

Ranu menebak lagi. "Dengan penjelasan yang bakal dikasih Adisty?"

"Iya."

Arka mendesah pendek. "Gimana kalau Adisty bener-bener punya pacar? Gimana kalau ternyata dia memang boongin gue selama ini?"

"Gue rasa bukan itu yang perlu lo khawatirin."
"Trus..?"

Ranu meneguk minumannya tanpa gairah. "Tadi gue kebetulan nemenin Nada, Kanza, sama Adisty ke makam Firgi---"

"---Bentar. Lo ngapain nemenin mereka?"
"Kebetulan. Gue kegeret aja karena mereka perginya setelah kelas dan Adisty sendirian jadi gue bertugas buat boncengin dia. That's all."

Arka manggut-manggut. "Trus..?"

"Di sana kita nggak sengaja ketemu mantannya Adisty---"
"HAH?"
"Iya. Mantan."
"MANTAN?"

Ranu membenarkan. "Dari pengamatan gue... yang bisa bener, bisa juga salah, kayaknya Adisty sama mantannya nggak in good terms. Entah ya, gue nggak paham juga. Tapi ketara banget kalau Adisty nggak berkenan ketemu sama mantannya."

"Oh."

Ranu mendongak, "Sekali lagi, karena gue ini bego masalah beginian jadi gue bisa aja salah. Tapi gue rasa, sikap Adisty mungkin ada kaitannya sama si mantan."

Arka belum memberikan respons.

"Nggak semua orang punya hubungan baik sama mantan kayak lo, Ar," tutur Ranu menimpali lagi.

Arka menghela napas. "Termasuk lo?"

"Termasuk gue."
"Tapi kenapa lo masih berhubungan baik sama Kanika? Setelah semua yang terjadi antara kalian. Gue sampai saat ini nggak ngerti sama kalian, Nu.."

Ranu mengangkat bahu. "Ceritanya panjang."

"Oh, trust me. I have time. Gue juga butuh pengalihan isu."
"Bilang aja lo pengin ngorek-ngorek masa lalu gue, supaya lo nggak patah hati sendirian."
"Yaa... itu juga sih."
"Sialan."
"Buruan cerita."

Ranu mengangkat gelasnya yang hampir kosong. "Isi ulang dulu."
"Oke." Arka setuju.

Tak lama, Arka datang dengan gelas Ranu yang sudah kembali penuh dengan cairan cokelat yang ditengarai sebagai es kopi, dan sepiring penuh wedges renyah yang siap dikunyah. Ranu nyengir girang.

"Jadi?" tagih Arka.

"Long story short, Hexa mutusin Kanika. Kanika syok, panik. Emosinya nggak stabil, trus kecelakaan. Dan gue mungkin adalah penyebabnya kenapa Kanika waktu itu bisa tiba-tiba nekat nyebrang di jalanan yang lagi rame. Kanika jadi pincang, dia terpukul. Kanika nggak cuma kehilangan Hexa. Dia kehilangan banyak hal.."

Arka hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Jadi ini yang kemaren lo sebut-sebut sebagai rasa tanggung jawab lo ke Kanika? Karena lo nganggep Kanika kecelakaan gara-gara lo?"

"Begitulah."
"Nu, lo tuh harusnya ngehubungin Hexa! Bukan kayak gini."
"Udah gue coba. Nggak berhasil."

Arka geleng-geleng tak habis pikir. "Lo yakin yang bikin lo nggak bisa ninggalin Kanika cuma itu? Kecelakaan itu bukan salah lo. Kanika pincang juga bukan gara-gara lo."

"Kanika keguguran, Ar."

Untuk kesekian kalinya, Arka hanya bisa terpaku mendengar penjelasan pendek dari Ranu. Laki-laki di hadapannya menyeruput es kopi dengan raut muka datar tanpa emosi, membuat Arka semakin bingung untuk bereaksi.

"Anak Hexa, kan? Please jangan bilang anak lo."

Ranu mendesah panjang. Mungkin desahan terpanjang yang pernah Arka dengar. "Nggak penting anak siapa. Yang jelas gue nggak bisa ninggalin Kanika sendirian. Emosinya nggak stabil, Ar. Sikapnya sering berubah drastis sesuai mood. Kadang manis, kadang meledak-ledak."

"Tapi bukan berarti lo harus--"

"Kanika nggak punya siapa-siapa di sini, Ar. Nyokapnya kan di Aussie sama bokap tirinya. Lo taulah, gimana susahnya hidup sama keluarga tiri. Gue rasa, yang dibutuhin Kanika cuma keberadaan Hexa. Tapi gue nggak bisa cari jalan keluar yang melibatkan Hexa.." Ranu buru-buru mengimbuhkan.

Arka berdecak. "Trus lo bakal ngorbanin hidup lo demi Kanika?"

Ranu termangu.

"Nu, lo juga punya hidup! Lo punya masa depan, ambisi, impian, dan lo juga punya perasaan. Lo nggak bisa dong gitu aja ngelepasin semuanya demi Kanika! Terlebih, setelah apa yang Kanika lakuin ke lo!" terlihat jelas kilat emosi di sorot kedua mata Arka.

"Dia kehilangan banyak hal, Ar.."
"We are all losing something in this life, anyway. No one living this life as a whole, we are all broken and damaged. Bukan itu poinnya! Lo tau maksud gue.."

Ranu tersenyum tipis. "Hari ini gue bilang ke Kanika kalau gue nggak bakal lagi jadi bayang-bayang Hexa buat dia."

"Dan?"
"Dan dia... nangis."
"Dan lo jadi nggak tega?"
"...gue nggak tahu, Ar. Gue bingung."

Arka mengerang. "Trus setelah ini lo mau gimana?"

"Yang pasti gue nggak bakal drastis langsung ninggalin Kanika. Bertahap. Bagian paling pentingnya udah gue utarain ke Kanika. Gue bukan lagi Ranu yang dulu. Akan ada waktunya nanti gue bener-bener bakal lepas dari sisi Kanika dan.."

"..Dan?"
"Pergi ke sisi orang yang gue sayang."
"Siapa?"

Ranu tampak ragu untuk memberikan jawaban kilat.

Arka memijat pangkal hidungnya. "Nu, lo jujur sama gue ya. Lo ada perasaan sama Nada, kan?"

Ranu tak lekas menjawab. Ada jeda yang kemudian menjadi kesimpulan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Arka. Laki-laki di balik konter kafe itu berucap pelan. "I take that as a yes."

Ranu masih bergeming.

"But you're too late, though. She's someone else's girl now," tambah Arka, seperti menuang minyak gas pada api yang sedang membara. Ranu mendongak. "Orang yang udah nikah atas nama Tuhan aja bisa cerai, Ar."

"You are not serious."
"I am."
"Lo nggak bakal ngerebut dia dari Kanza, kan? Lo nggak senekat itu, kan?"
"Nggaklah, Ar. She seems happy and that's enough for now."
"For now...."

Arka terdiam. Begitu pula dengan Ranu. Keduanya sedang mengamati pantulan wajah masing-masing dari permukaan minuman dalam gelas yang mereka pegang.

"Satu-satunya yang bikin hati gue rasanya kayak bolong cuma satu, Ar."
"Apa?"
"I pushed her away when she was trying to get closer to me."

Arka tertegun. Ia jadi teringat bahwa Adisty pernah bilang kalau Nada memang sempat menunjukkan gerak-gerik dan tanda bahwa gadis itu tertarik pada Ranu. 

"Lo mau nyesel kayak gue juga? You've been avoiding Adisty for days. Lo yakin lo bakal baik-baik aja nanti? Jangan main kejar-kejaran kayak anak kecil. Nanti kalau lo kelamaan lari, lo nggak sadar dia udah berenti ngejar lo sejak jauh-jauh hari."

Lamunan Arka terbuyarkan oleh ucapan Ranu yang menohoknya tepat di ulu hati.

"Ar, lo sayang kan sama Adisty?"
"Banget, Nu. Banget."
"Kalau lo sayang banget, harusnya lo nggak ngebiarin ego nguasai diri lo."

Entah kenapa, hari ini semua perkataan Ranu terasa benar.

.

.

.



BIANGLALA UNTUKMU [fin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang