Bab 7

825 118 19
                                    

RANU memutar kenop pintu sebuah rumah mungil bercat kuning pucat dengan perabotan seadanya, serta penerangan yang cukup, tapi pekarangan sedikit tak terawat. Laki-laki itu menggenggam seikat bunga mawar putih yang terbungkus rapi dalam kertas cokelat tipis dan plastik bening.

"Ka?"

Panggilan itu tak mendapat jawaban. Ranu meletakkan bunganya di atas meja dan bergegas mencari gadis penghuni rumah tersebut. Di kepalanya, sudah muncul beragam skenario terburuk. Langkahnya gusar. Tapi begitu indera penglihatannya menangkap sosok Kanika sedang di dapur, membawa segelas air mineral, Ranu menghela napas lega.

"Kok kamu nggak nyahutin aku sih, Ka?" tanya Ranu.

Kanika, gadis bersurai panjang hampir sepunggung itu menjawab pendek. "Nggak denger."

"Kamu udah baikan?" tanya Ranu, ia kembali ke ruang tamu untuk mengambil bunga dan bergegas ke ruang tengah, segera mengganti bunga dalam vas.

Kanika mengangkat bahu. "Emangnya gue pernah baikan? Semenjak Hexa nggak ada, gue ya gini gini aja."

Napas Ranu tercekat.

Kanika meletakkan gelas air mineralnya. Kemudian dengan langkah pincang, gadis itu masuk ke dalam kamar. Membanting pintunya kencang-kencang.

"Kamu udah makan?" tanya Ranu, mendekatkan diri ke kenop pintu kamar Kanika.

Gadia itu mengerang pendek. "Nggak laper."

"Nanti kamu sakit, Ka. Aku beliin makan ya?" tawar Ranu, masih bersabar.

Ini bukan kali pertama Kanika bersikap seperti itu. Ranu sudah terbiasa.

"Nggak usah. Biar mati sekalian," seloroh Kanika. "Percuma juga gue hidup. Gue udah kayak orang mati. Nggak ada Hexa. Gue juga nggak bisa lari lagi. Menurut lo, gue masih pengen idup?"

Ranu terdiam.

Semenit kemudian, ia mendengar isakan Kanika. Ranu tak pernah bisa terbiasa dengan tangisan perempuan. Baginya suara itu terdengar menyeramkan. Seperti mencekik lehernya dan membuatnya panik.

"Ka, jangan nangis," pinta Ranu. "Kan aku udah di sini.."

"Udahlah, Nu. Buat apa sih lo masih ke sini? Gue butuh Hexa. Bukan lo," sergah Kanika, suaranya parau.

Ranu menahan napasnya.

"Pulang sana."

"Aku pesenin makan ya. Jangan lupa dimakan," kata Ranu terakhir kali sebelum dia meninggalkan rumah tersebut, setelah memastikan bahwa makanan yang ia pesan untuk Kanika sudah terletak manis di meja ruang tengah.

Ranu menyalakan motornya.

Ia tak bisa menyalahkan Kanika yang bersikap demikian padanya. Ia juga tidak bisa marah, saat Kanika membentaknya di suatu hari, memekik dan memukulnya, meluapkan semua makian kasar, serta Kanika yang menangis minta ditemani di hari lainnya, merengek dan memohon agar Ranu tidak pergi. Dua sisi Kanika yang seperti itu, Ranu sudah memahaminya setahun terakhir.

Laki-laki itu berhenti di sebuah pertigaan, duduk di sebuah pos kamling kosong yang bersih. Ia tidak ingin pulang. Tidak ingin melihat wajah kecewa ayahnya, tidak ingin melihat ibunya membuat pembelaan agar dirinya terlihat baik-baik saja. Kejadian setahun lalu jelas membekas seperti luka yang masih basah, menyisakan perih yang seolah tak berujung, amarah yang tak ada habisnya, dan penyesalan di mana-mana.

"Udah gue bilang berapa kali sih, Braaaaa. Kanza bukan pacar gue," gerutuan panjang dari arah timur.

Ranu terkejut.

BIANGLALA UNTUKMU [fin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang