Ting tong.
Keduanya terlonjak. Tanpa sengaja kepala mereka berbenturan. “Aduh.” Dira mengusap dahinya yang lumayan berdenyut. Menyadari Aran masih menatapnya, dia membuang pandangannya.
“Aku lihat dulu siapa yang datang.” Aran pun mengalihkan pandangannya dari wajah Dira yang merona dan mencuci tangan, lalu dia bergegas ke ruang tamu. Sepanjang jalan, dia merutuk dalam hati. “Kamu gila Aran. Gila. Gila. Gila. Dia baru delapan belas tahun.”
Dia membuka pintu dan seketika terkejut melihat siapa yang datang. “Abah, Mama?”
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam... Masuk, Ma, Bah....” Aran mencium tangan mama dan mertuanya lalu menggeser tubuhnya, memberi ruang untuk mama dan mertuanya masuk.
“Wajahmu kenapa, Ran? Kok merah gitu?” tanya Tamara dengan tatapan menyelidik.
“Nggak pa pa, Ma,” elak Aran. Dia mengusap wajahnya. “Kepanasan kali di dapur dari tadi.”
“Rara mana?” tanya Tamara lagi.
“Di dapur, Ma, lagi masak.”
“Masak?” tanya Ganda tak percaya.
“Iya, Bah. Masih belajar.”
Mendengar jawaban Aran, Tamara menuju dapur diikuti Ganda dan Aran. Dilihatnya Dira sedang berdiri membelakanginya. “Menantu Mama lagi ngapain?” tanyanya riang.
Dira yang perasaannya masih kacau karena nyaris berciuman dengan Aran sontak menoleh. “Mama, Abah?” ucapnya terkejut.
Melihat wajah Dira yang juga merah, Tamara pun penasaran. “Ini kalian kenapa, wajahnya kok pada merah semua?” Dia kembali memberi tatapan selidik pada wajah Aran dan Dira.
“Nggak pa pa kok, Ma.” Aran menghampiri Dira. “Kamu cuci tangan, biar aku yang teruskan,” perintahnya pelan.
Dira yang tidak berani menatap wajah Aran mengikuti saran suaminya, lalu menghampiri Ganda dan Tamara, mencium tangan mereka bergantian.
“Dahimu kenapa, Ra?” Ganda mengusap dahi putrinya yang masih memerah.
“Hm, kebentur tadi, Bah,” jawab Dira dengan menundukkan kepala. Tiba-tiba wajahnya kembali merona karena teringat Aran yang akan menciumnya.
“Sepertinya kita ganggu mereka, Gan.” Tamara tersenyum merekah.
“Ganggu apa, Ma? Kami lagi masak kok,” elak Aran yang berdiri membelakangi Tamara.
“Ada gitu orang masak dengan wajah merona? Masaknya sambil plus, plus, plus, ya?” goda Tamara lagi seraya menatap Dira yang wajahnya semakin memerah.
“Ng-nggak kok, Ma,” jawab Dira gugup. Dia memalingkan wajahnya menatap Ganda yang juga tersenyum menatapnya.
“Syukurlah, Nak, kalau kamu baik-baik saja.” Ganda yang tampak lega, mengusap lembut kepala putrinya.
Terdengar suara bel rumah kembali berbunyi. Semua orang menoleh ke arah ruang tamu. Tamara berinisiatif membuka pintu.
Aran yang menyadari siapa yang datang, segera mencuci tangan dan menyusul Tamara. Didengarnya Tamara sedang berbincang dengan tamu yang baru datang.
“Kamu beli AC dan tempat tidur, buat apa, Ran?” tanya Tamara. Lagi-lagi dia memberi tatapan selidik.
“Hm, buat kamar tamu, Ma,” jawab Aran pasrah. Dia tidak ingin membohongi mama dan mertuanya. Toh yang penting dia dan Dira akan berusaha untuk menjalani pernikahan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIRAN
Lãng mạnAran yang dijodohkan dengan Nisa nyaris gagal menikah karena calon istrinya melarikan diri. Penyebabnya sepele. Nisa merasa abahnya tidak berlaku adil pada dia dan Dira. Aran yang marah karena merasa akan dipermalukan di hari pernikahannya memaksa D...