Bab 16

7.5K 870 48
                                    


Hampir pukul sebelas malam Aran baru tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah sekali. Ia sengaja tidak membunyikan klakson karena takut Dira sudah tidur. Ia membuka pintu, menggunakan kunci cadangannya.

Aran memasuki kamar, berniat mengecek keadaan istrinya. Ternyata benar, Dira sudah tertidur. Aran mengerutkan keningnya melihat posisi tidur Dira. Istrinya itu tidur meringkuk seperti bayi dan menggenggam ponsel. Biasanya jika tidur, Dira selalu meletakan ponselnya di atas nakas.

Seketika Aran menepuk dahinya. Dia lupa ponselnya mati dan belum di charge. Tadi sore, dia hendak mengisi ulang daya ponselnya, tetapi charger miliknya ketinggalan di rumah. Sedangkan di toko, tidak ada yang memiliki charger seperti miliknya.

Aran membenarkan posisi tidur Dira perlahan. Ia tidak mau istrinya terbangun. Ragu, ia mengecup pelan pelipis Dira lalu mengusap rambutnya. Setelah itu ia beralih ke kamar mandi, tubuhnya sudah berteriak minta dibersihkan. Selesai mandi ia pun menuju dapur untuk mengambil air minum.

Sedang mengisi gelasnya, pandangan Aran tertuju ke meja makan. Di atas meja masih ada mangkuk sayur. Aran membuka tutup sayur itu, ternyata sayur lodeh yang diberi iga sapi. Rasa bersalah menyelinap di hati Aran. Istrinya sudah capek-capek memasak, tetapi dia malah makan di luar. Seketika dia mengambil piring dan memakan masakan istrinya.

***
Dira bangun lebih awal hari ini dengan perut keroncongan. Dilihatnya, sisi yang biasa di tempati suaminya masih rapi. “Ke mana orang itu? Sudah berani nggak pulang?” ucapnya kesal dalam hati.

Selesai merapikan tempat tidur, Dira berjalan menuju dapur. Azan subuh masih setengah jam lagi, lebih baik dia ke dapur dulu untuk makan. Gara-gara mati lampu semalam, dia belum makan. Tunggu dulu, dia belum makan karena mati lampu atau karena menunggu Aran? Entahlah. Dira malas memikirkannya.

Baru membuka pintu kamar, Dira terenyak. Dia berpas-pasan dengan Aran yang sepertinya baru bangun tidur. Wajah keduanya tampak terkejut.

“Sudah bangun, Dhie?” tanya Aran kikuk. Ia tidak menyangka Dira sudah bangun. Tadinya ia berniat pura-pura tidur di samping Dira lalu membangunkan istrinya.

“Hm,” jawab Dira pendek. Ia berlalu dari hadapan suaminya.

Aran mengernyit lalu mengikuti langkah istrinya. “Tumben kamu makan jam segini?” tanyanya ketika melihat Dira mengambil piring lalu lanjut mengambil nasi.

“Aku lapar,” sahut Dira pendek sambil mengambil sayur. Ia mulai menikmati nasinya.

“Kenapa nggak dipanaskan dulu? Mana enak kamu makan dingin begitu.” Aran duduk di hadapan Dira.

“Kelamaan.”

Aran terus menatap wajah Dira yang makan sambil menunduk, sedikit pun tidak mau menatapnya. “Kamu marah, aku tidur di kamar sebelah?”

Dira terdiam. “Jadi kamu sengaja tidur di sebelah?” Tiba-tiba Dira merasakan sesak di dadanya, tadinya ia berharap Aran tertidur di ruang tengah atau ruang tamu. “Nggak,” jawabnya tercekat.

“Terus kenapa? Karena aku pulang malam?”

Dira berdiri tanpa menjawab. Ia merasa tenggorokannya semakin tercekat. Ia membuang sisa nasi yang ada di piringnya ke tempat sampah lalu mencuci piringnya. Setelah itu ia berlalu ke kamar mandi.

Ia sholat tanpa menunggu Aran. Biasanya Dira akan bertanya dulu sebelum sholat, apakah suaminya itu sholat di rumah atau di masjid.

Aran mengatupkan rahangnya melihat tingkah Dira yang menurutnya kekanakan. Dan ia semakin murka ketika Dira membuang begitu saja sayur yang ada di meja makan. “Kamu kenapa sih, Dhie? Itu sayurnya kenapa dibuang?”

“Sudah nggak enak. Lagian siapa juga yang mau makan?”

“Kalau memang sudah nggak enak, kenapa kamu makan?” Aran mencekal tangan Dira yang hendak menghindar.

“Bukannya sudah kubilang kalau aku lapar!” suara Dira semakin meninggi. Ia berusaha melepas cekalan tangan Aran namun gagal.

“Kalau kamu lapar dan nggak mau masak. Kamu tinggal bilang dan aku akan masak buat kamu!” ucap Aran emosi. Ia menatap tajam wajah Dira dan melepas cekalannya.

“NGGAK PERLU! Walaupun nggak enak, aku masih bisa masak sendiri.” Dira berlalu menuju kamarnya. Ia tidak ingin air mata yang ditahannya semenjak tadi, keluar begitu saja di hadapan Aran.

***
“Aku berangkat,” pamit Aran pada Dira yang sedang menonton TV di kamar. Aran yakin, Dira tidak benar-benar sedang menonton TV. Tatapan gadis itu kosong.

Dira bangkit dan melewati Aran begitu saja. Ia mengambil tas Aran lalu meletakkannya di dalam mobil yang sudah menyala. Kemudian ia membuka pintu pagar.

Dira kembali menghampiri Aran yang sudah membuka pintu mobil lalu mencium tangan suaminya. Setelah itu ia hanya berdiri di teras sambil menunggu mobil suaminya keluar halaman. 

Dira menutup pagar dan mengunci pintu rumah setelah mobil Aran tidak terlihat. Dan ia langsung  terduduk, menangis sambil memeluk lututnya di balik pintu.

***
Aran berusaha menjaga konsentrasinya selama mengajar. Pikirannya terbelah dua. Antara mengajar dan memikirkan istrinya. Sudah puluhan kali Aran mencoba menghubungi ponsel istrinya, tetapi tetap tidak aktif juga.

Ia melirik jam tangannya. Masih setengah jam lagi jam pelajarannya usai. Setelah ini ia berniat pulang sebentar, mengecek keadaan istrinya.

“Ada yang ingin bertanya?” tanya Aran sambil mengedarkan pandangannya. Menatap mahasiswa yang rata-rata sedang memperhatikannya. “Kalau tidak ada, saya yang bertanya.” Aran diam sejenak. “PT. ABC membeli satu buah laptop senilai tujuh juta rupiah pada bulan Agustus 2016. Hitung nilai penyusutannya per 31 Desember 2016 dan buat jurnalnya.” Aran berjalan menuju depan mejanya dan menyandarkan bokongnya.

DIRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang