Aku tersenyum sumringah menatap mini cafe yang resmi dibuka hari ini. Ya, mini cafe milikku sendiri. Dengan modal tabungan selama bertahun-tahun mengorbankan diri untuk tidak tergiur dengan kata 'SALE' terhitung sejak tahun kedua aku bekerja. Ditambah dengan uang tambahan dari hasil...
"Uang tabungan kita seluruhnya buat kamu. Toh aku menabung juga tadinya memang untuk kamu. Aku gak mau mengambil kembali apa yang memang kutujukan untuk kamu."
Duh! Aku menjitak kepalaku sendiri. Udahlah seharusnya aku gak perlu mengingat-ingat lagi hal itu. Anggap aja ini rezeki buat aku. Uang tabungan modal nikah bersama (namanya doang bersama padahal nominalnya lebih banyak punya mantanku) sekarang jadi milik aku sepenuhnya. Daripada ini uang cuma disimpen aja mending sekalian aku investasiin kan?
"Mbak Madha." Aku menoleh ke sumber suara yang memanggil namaku.
"Eh Tania, kenapa?"
"Ayo ke dalam, Mbak. Pengajiannya mau dimulai."
"Okee. Yuk!" Aku kemudian berjalan bersama Tania meninggalkan papan plang bertuliskan 'MEMORY CAFE'.
***
Acara pengajian dan tahlil sudah selesai. Para om dan tanteku memberikan ucapan selamat sekaligus do'a agar usahaku ini lancar. Tak terkecuali Ibu. Meski kerap kali kami sering cekcok karena hal-hal sepele, hari ini aku lihat senyum Ibu tak henti-hentinya melengkung. Aku ikut senang melihatnya. Namanya aku anak satu-satunya Ibu dan Ayah. Kalau bukan aku, siapa lagi yang membahagiakan mereka.
"Om bangga sama kamu, Dha. Masih muda tapi udah punya usaha sendiri."
"Hehehe makasih Om." Aku tersipu mendengar pujian dari Om Qori. Diantara semua om dan tanteku, beliau yang paling kalem dan gak pernah menanyakan soal kapan aku akan menikah. Jadi kan hatiku tentram kalau gitu.
"Karir lagi naik, jangan lupa cari jodoh."
"Ish Ibu!" Baru juga aku bilang tentram eh Ibu udah mulai lagi.
"Nanti kalau memang sudah waktunya juga Madha menikah, Mbak. Kasihan dia kalau diburu-buru gitu." Nah! Aduh rasanya mau meluk Om Qori deh. Pengertian banget memang omku yang satu ini.
"Ya, Mbak juga tahu, tapi kapan? Kalau gak ditanyain dia tuh sengaja lupa. Ditanya mulu aja masih banyak pengalihan."
Jalanan rusak kali ah dialihkan. Aku menghela napas pelan. Sungguh, aku paling tidak suka membahas soal ini. "Madha cari angin dulu," pamitku sambil lalu. Ibu diam saja sedangkan Om Qori mengangguk. Aku yakin setelah aku keluar nanti mereka pasti akan membicarakan diriku. Ah, biarlah.
"Mamad! Sini, Mad!" Begitu melangkah keluar, Tio memanggilku. Kulihat Tio berkumpul dengan beberapa orang pria yang tak kukenal di depan cafe. Aku pun menghampirinya.
"Sini ngobrol sama temen-temen gue," ujarnya saat aku telah berdiri di sebelahnya. Aku mengangguk mengerti kemudian melempar senyum pada tujuh orang pemuda itu.
"Ini namanya Mamad, cewek yang kalian tanyain." Aku langsung menggeplak kepala Tio. Enak aja dia memperkenalkanku sebagai 'Mamad' di hadapan teman-temannya.
"Madha Aprilia," ujarku memperkenalkan diri sendiri seraya menyalami satu persatu teman Tio.
"Kalau nama ayahnya?"
"Eh?" Aku menautkan kedua alisku bingung mendengar pertanyaan yang dilontarkan salah satu teman Tio itu.
"Biar lancar buat latihan ijab qabul."
"Gembelll!!" Teman-teman Tio yang lain langsung menoyor kepala pria itu. Aku ikut tertawa. Tingkah laku mereka lumayan menghiburku.
"Tuh gue baik kan udah mempromosikan cafe lo di temen-temen gue."
Aku mencibir sesaat. "Perhitungan nih?" ledekku.
"Canda elah."
"But, thanks Yo." Aku tulus mengucapkan terima kasih. Meski lebih sering becanda kelewatan, aku tahu Tio sebenarnya pria yang perhatian. Sebagai sepupu yang lebih tua darinya dua tahun dan tumbuh bersama sejak kecil, aku tahu Tio luar dan dalam.
"Dapat benefit apa nih kita kalau ngupi ganteng disini?" tanya salah satu teman Tio yang kuketahui bernama Beni.
"Lihat saya gak cukup?" godaku dengan kedipan mata.
"Aihhh mencelos hati abang, neng!"
***
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, semua saudara Ibu dan sepupu-sepupuku sudah pamit pulang. Hanya tinggal aku dan Ibu di dalam cafe. Aku masih beres-beres sedangkan Ibu duduk di salah satu kursi.
Sejak aku kembali dari ngobrol-ngobrol dengan teman-teman Tio, kulihat Ibu lebih banyak diam. Aku curiga pasti ada yang ingin Ibu utarakan.
"Madha."
Tuh kan betul dugaanku. Aku mengambil tasku kemudian menghampiri Ibu.
"Ayo Bu pulang sekarang."
"Tunggu sebentar. Ada yang mau Ibu omongin."
Aku diam. Membiarkan Ibu melanjutkan kata-katanya.
"Kamu tahu kan kamu anak satu-satunya Ibu sama Ayah?"
Aku mengangguk.
"Berarti kamu tahu kan kalau seluruh kasih sayang Ibu dan Ayah itu semuanya untuk kamu?"
Aku mengangguk lagi.
"Kamu benci ga kalau Ibu tanyain kapan menikah mulu?"
Aku mengangguk-- eh menggeleng.
"Madha kalau Ibu lagi serius dengerin dong!"
Ibu mulai naik satu oktaf. Salahku juga sih main ngangguk-ngangguk aja. "Iya, Bu. Maaf."
"Sekarang Ibu tanya sama kamu. Gimana sebenernya perasaan kamu tiap kali Ibu singgung soal pernikahan?"
Aku diam sejenak. Mengatur napas sebelum mulai berbicara. "Madha tahu Ibu sayang sama Madha. Ibu gak mau Madha hidup 'sendiri'. Cuma kadang Madha jengah, Bu. Ibu kan tahu menikah bukan hanya sekadar untuk satu hari acara akad + resepsi. Madha akan mengabdi seumur hidup Madha sama suami. Kalau Madha sampai salah pilih karena terburu-buru gimana? Bukan cuma Madha yang bakal sedih nanti. Ibu sama Ayah juga.
"Ibu tahu sendiri Madha pernah hampir meraih itu semua, Bu. Madha pernah berada di titik kebahagiaan sampai akhirnya semua jatuh gitu aja. Sekarang Madha lagi berusaha bangun semuanya dari nol lagi, Bu. Madha lagi coba tata hati Madha untuk gak terus-terusan melihat ke belakang. Dan, semua itu butuh proses. Madha maklum Ibu mau lihat Madha nikah. Madha pun kalau di posisi Ibu pasti begitu. Cuma yaa jangan tiap hari Bu ngingetinnya. Apalagi sampai kita harus cekcok karena masalah ini. Madha cuma punya Ibu disini sedangkan Ayah jauh di luar negara lain. Tiap hari berantem sama Ibu juga lama-lama Madha capek, Bu."
Hening cukup lama sampai akhirnya kudengar Ibu terisak. Buru-buru aku mengambil kotak tisu terdekat dan memberikannya pada Ibu. "Maaf kalau kata-kata Madha ada yang menyinggung Ibu," lirihku.
Ibu menggeleng kemudian menghapus air matanya dengan tisu. "Ibu gak bermaksud bikin kamu capek hati." Ibu menegakkan posisi duduknya kemudian meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku. "Madha dengar Ibu baik-baik. Ibu cuma mau Madha bahagia. Madha tahu pekerjaan Ayah sebagai pilot kerap kali membuat Ayah jarang di rumah. Jangan mengelak, Ibu tahu kamu membutuhkan sosok 'lelaki' untuk melindungimu."
Aku diam. Tidak mengelak sesuai keinginan Ibu. Ya memang yang Ibu katakan ada benarnya juga.
"Ibu cuma antisipasi, Dha. Kalau-kalau Ayah atau Ibu yang 'pergi' lebih dulu, Ibu mau kamu punya seseorang untuk menjaga kamu menggantikan kami."
Aku langsung memeluk Ibu. Menumpahkan air mataku di pundaknya. "Ibu gak boleh ngomong gitu," pintaku lirih. Sesering apapun aku dan Ibu bertengkar atau beda pendapat, aku tak pernah berani membayangkan kalau suatu hari Ibu meninggalkanku dengan alasan apapun.
Malam itu seolah berlalu dengan lambat. Seakan waktu menginginkan aku dan Ibu untuk saling mengerti satu sama lain. Membiarkan ego kami berdua terbuang bersama tiap detik yang berlalu.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU [Tersedia Lengkap Di Dreame]
RomanceIni bukan kisah cinta segitiga yang menguras air mata, bukan juga kisah orang ketiga yang membuat gelap mata. Ini kisah tentang tiga anak manusia yang terjebak dalam satu ikatan rumah tangga. Akankah mereka berakhir bahagia? Ataukah harus ada yang...